Awalnya diinspirasi mimpi epik saya beberapa waktu lalu (serius, itu epik parah. Udah lama ga mimpi epik DAN masih inget pas bangun makanya langsung gue twit. Ampe berapa puluh itu ya....) terus udah lama kepingin bikin universe fantasy tapi ga ada ide plot jadi yasudahlah dikawinin (....) Masih gatau mau dibawa kemana sih =)) Dijudulin apa aja gue gatau =))
[OriFic] Chronicle of [masih cari kata yang pas] Intro
================
Kaki-kaki
mungil itu berderap, gesit menghindari gerumbulan semak dan pepohonan. Seketika
mendadak berhenti, sepasang matanya yang sewarna madu tajam menyisiri
sekeliling, sepasang bibir koralnya menyeringai kegirangan, lalu mendadak
melesat lagi, cokelat rambut ikalnya serta hijau gaun berendanya mengelebat
seperti bayangan, menuju gerumbulan perdu yang beberapa jengkal lebih tinggi
darinya, berhenti di baliknya semendadak tadi. Dadanya naik-turun mengatur
napas yang terengah, namun, kikik tertahan juga ikut terlepas.
<Kalau
sambil sembunyi saja kau masih berisik begitu, pantas kau kalah terus tiap main
petak umpet.>
Bibirnya
mengatup seketika, mengerucut sebal. Ia mendongak menatap sepetak langit jernih
di atas sana, mendelik pada apa yang ia tahu ada di sana meski tak terlihat
oleh mata telanjangnya.
<Mana
mungkin! Iona kan manusia biasa, bukan kamu yang mata sama telinganya
super!>
Tawa
renyah menggelegar. Kedengarannya seperti akan terdengar hingga batas desa, namun,
gadis kecil itu tahu hanya ia yang bisa mendengarnya. Karena suara tawa si
lawan bicara hanya tertuju padanya, dan berdering langsung di benaknya tanpa
membentuk suara atau kata, seolah menyentuh benaknya untuk dapat langsung
memahami apa yang lawan bicaranya sampaikan.
<Yah,
kita lihat saja nanti.> Kata-kata itu bernada geli, semakin membuat si gadis
kecil dongkol, dan semakin dongkol karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalasnya,
karena, ia kan seharusnya diam-diam saja bersembunyi tanpa bergerak atau
membuat suara? Kalau ia terlalu berkonsentrasi memilih apa yang tepat untuk
dilontarkan pada benak lawan bicaranya, bisa-bisa ia menurunkan kewaspadaannya
dan tanpa sadar meloncat berdiri, misalnya. Pokoknya ronde kali ini ia tak
boleh kalah dari Iona! Menyebalkan sekali tiap bermain ia terlalu mudah
ditemukan Iona. Giliran ia yang mencari pun, selalu berakhir dengan Ainra
mengingatkan waktu bermain mereka sudah habis, atau Alastar berteriak-teriak
berisik mencari mereka karena Iona dipanggil pulang sebelum dia berhasil
menemukan Iona.
Ya
bagaimana ia tidak bernapsu ingin menang.
“Mo~i~ra~”
Panggilan
setengah-bernyanyi yang penuh kemenangan membuat si gadis kecil terperanjat,
sontak membekap mulutnya meski sejak tadi ia sudah berhenti terkikik. Perlahan,
ia mengintip dari sela-sela rerimbunan daun, berusaha menebak dari mana arah
suara yang memanggilnya.
“Ketemu!”
“Kyaa!”
Moira
si gadis kecil memekik terkejut saat tiba-tiba saja seseorang menghambur
memeluknya dari belakang sambil tertawa-tawa girang, hingga mereka berdua
terjatuh saling berguling. Keterkejutannya berangsur hilang, diganti dongkol
yang lebih besar.
“Kenapa
ketahuan terus siih?” Moira merajuk, meski ia tak berontak juga saat gadis yang
lebih besar darinya itu membantunya bangun sambil masih saja merangkul
pinggangnya. Terkekeh, si gadis berambut merah terang menepuk puncak kepalanya
ringan. “Aku kan memang jago menemukan sesuatu. Kau saja yang masih ngotot
ingin main.”
“Ainra
tidak membantumu, kan?” kelopak mata Moira menyipit curiga.
<Sudah
kubilang, kau saja yang payah main.> sebelum gadis berambut merah yang
dipanggil Iona itu membalas, suara itu kembali bergema, namun kali ini di
kepala keduanya alih-alih hanya Moira yang ‘mendengar.’ Kemudian, sesuatu
berderu di atas kepala mereka, tiba-tiba saja angin kencang menerpa mereka, padahal
semenjak tadi udara tenang tak bergerak. Perlahan, seolah seperti tengah
meleleh dari selubung tak-tampak, sosok seekor naga dengan sisiknya yang biru
kemilau muncul dari udara kosong. Tingginya baru sekitar dua kali tinggi si
gadis yang lebih tua, tonjolan-tonjolan sirip di puncak kepala dan belakang
lehernya belum runcing, moncongnya masih bulat halus, tertutupi pelindung
kulit, sepasang tali kekang menjuntai, tersampir di lehernya. Sepasang mata
tembaga itu mengerling Moira santai, melipat sayap-sayapnya.
“Tuh.
Muncul saja baru sekarang. Bagaimana mungkin aku curang minta bantuan Ainra?”
sebelah alis Iona terangkat memperjelas, kedua tangannya membantu Moira berdiri
dan membersihkan guguran daun dan ranting yang tersangkut di gaun si gadis
kecil.
Bibirnya
terkatup rapat. Ia benci tampak kalah dan menurut dengan tidak membalas, tapi
sayang sekali ia tidak punya sesuatu yang bagus untuk digunakan membalas.
<Orang
bijak tahu kapan saatnya mundur, Moira. Kau ini keras kepala sekali.> Lagi,
sang naga menyeletuk, seolah menyaksikan si gadis kecil ngotot meminta
permainan diulang lagi dan lagi dan selalu kalah saja sudah melelahkan dirinya.
“Berisik,”
gadis kecil itu mendelik.
“Pulang,
yuk? Sebentar lagi waktu sarapan,” Iona menunjuk ke arah manornya yang terlihat
di sela-sela pepohonan, menggamit jari-jari mungil Moira. “Susah nanti kalau
Judith mengomel panjang lebar lagi.”
Moira
mengerang ketika nama kepala pelayan di Manor keluarga Svenja itu disebut. Ia
tidak suka wanita tua itu, matanya yang setajam burung nasar selalu saja bisa
menemukan kesalahan pada apapun yang Moira lakukan. Ia juga sadar kalau
sebenarnya kata-kata Iona barusan berarti ‘Mrs. Judith hanya akan mengomeli
Moira dan berusaha menghukumnya tanpa Ayah dan Ibu tahu kalau lagi-lagi ia
kedapatan membuat Lady Caitriona terlambat sarapan karena bermain di tepi hutan’,
dan sadar kalau Iona tak ingin Mrs. Judith lagi-lagi mengomelinya.
<Moira,>
“Hn?”
ia menoleh pada Ainra yang mengikuti mereka di belakang, mengernyit heran
karena mendapati naga muda itu menatap lurus ke arah langit, ketegangan tampak
jelas menguar.
<Alastar
mencari kalian.>
Biasanya
gadis itu hanya menggulirkan bola matanya malas, mengabaikan kakak laki-lakinya
terus mencari tanpa berniat memberitahukan posisinya, seringkali setengah sebal
karena kakaknya selalu sok tua dan sok menggurui, padahal mereka hanya berbeda
usia empat tahun. Namun kali ini ia menangkap ketegangan di sepasang mata
tembaga Ainra yang kini menatapnya lurus-lurus. Ia menghentikan langkah.
“Ainra?
Ada apa?” Saat jemarinya meraih moncong Ainra yang kini tertunduk sejajar
kepalanya, ia tersadar naga itu tengah gemetar. Ketegangan mencekam sang naga
muda menjalar padanya, ia tahu karena mereka saling terhubung, meski ia tak
tahu apa yang membuat Ainra seperti itu. <Ainra?> Ia berbisik melalui
pikirannya, cemas karena Ainra yang tiba-tiba berubah.
<Levanth
memberitahu barusan—>
<—Memberitahu
apa?>
<Itu—>
selaput mata Ainra menutup sesaat. <Alastar yang akan menjelaskan.> Kini
ucapan-pikiran Ainra ditujukan pada mereka berdua. <Tunggu dia di sini.>
“Tunggu,
ada apa? Ada sesuatu?” seolah baru menyadari ada sesuatu yang salah, Iona
berbalik, mendekati Moira yang menggeleng-geleng kebingungan.
“Moira!”
Ketiganya
mendongak, sepetak langit di atas kepala mereka menggelap, semakin lama semakin
besar, deru kepak sayap yang tiga kali lebih lebar dari sayap Ainra terdengar
semakin keras, disusul seekor naga bersisik kehijauan mendarat, seorang pemuda
tanggung dengan raut keras meloncat dari punggungnya.
“Pulang!
Sekarang!”
“Kau
ini tidak sabaran! Ini juga mau pu—“
“Lady
Caitriona,” pemuda itu tidak menggubris seruan sebal adiknya, mengulurkan
tangan pada si gadis berambut merah, “Mari. Anda harus segera pulang. Saya dan
Levanth akan mengantar Anda.”
“Alastar!
Iona kan lagi jalan sama aku, jangan gitu dong!”
“MOIRA!”
Si gadis
kecil tersentak. Ia belum pernah melihat raut kakaknya sekeras itu, kepanikan
tampak tebal menggelayut. “Ainra, pulang dengan Moira secepat yang kau bisa.”
<Mengerti.>
kepalanya si naga biru menandak-nandak, mengisyaratkan Moira untuk segera
meloncat ke punggungnya. Gadis kecil itu masih berkeras tak mau beranjak.
“Alastar,
ada apa ini?” mengejar langkah panjang-panjang si pemuda, Caitriona mendesak
jawaban. Ketakutan merambati dirinya perlahan, sesuatu di belakang kepalanya
mengatakan ada sesuatu yang terjadi di rumah. Setengah dirinya terlalu takut
mendengar penjelasan Alastar, namun ia tahu tanpa alasan yang kuat Moira hanya
akan menolak mentah-mentah untuk disuruh-suruh Alastar. Pemuda itu berhenti,
menatapnya lurus-lurus. Seketika, Caitriona paham.
“Sesuatu
terjadi pada Papa, kan?”
“Lady
Caitriona…”
“Katakan
sekarang, Alastar!”
Tenggorokan
pemuda itu berdeguk. “Count Svenja—meninggal.”
“…bohong.”
Berita
yang dibawa Alastar rupanya tidak hanya mengguncang putri satu-satunya Count
Malte Svenja, tapi juga Moira. Gadis kecil itu membelalak, wajahnya pucat.
“Kau
bohong kan?”
“Simon
menemukan jenazahnya di dekat kebun anggur,” Alastar menggertakkan giginya. “Moira,
tolong, jangan mempersulit. Pulang sekarang. Ayah yang memberi perintah.” Kata-kata
pemuda itu sudah final.
Perjalanan
pulang terasa mengambang bagi gadis kecil Moira. Ia tidak ingat Alastar
membantunya naik ke punggung Ainra. Ia tidak ingat Alastar berkali-kali
mengingatkan agar ia berpegangan erat-erat pada tali kekang. Angin yang
menampar-nampar wajahnya seolah berasal dari tempat yang jauh.
Berkali-kali
Alastar mengerling ke belakang, memastikan adiknya masih aman di atas punggung
Ainra si naga muda. Kedua tangan Caitriona yang duduk di belakangnya memeluk
pinggangnya erat.
“Bagaimana—bagaimana—“
kata-kata tercekat Caitriona mengambang.
<Levanth…>
<Nanti.
Jangan beritahu sekarang.>
“Alastar.
Beritahu aku sekarang!”
“My
Lady—“
“Aku
tahu Levanth pasti mencegahmu. Aku berhak tahu. Ini perintah!” meski begitu,
kata-katanya tercekat. Alastar menggertakkan genggaman tali kekangnya.
<Levanth,
tak bisakah…>
<Kami
tak bisa memperlihatkan visual selain pada Penunggang. Kau tahu itu, Alastar.>
Tentu
saja. Penunggang mana yang tidak mengetahui peraturan dasar hubungan Penunggang
dan Naganya? Hanya saja, ia kesulitan bagaimana menyampaikan apa yang terjadi
beberapa saat lalu di Manor Svenja pada Lady Caitriona. Semuanya terlalu
bertumpuk, terlalu kejam, terlalu tiba-tiba. Apa Lady Caitriona bisa
menerimanya?
<Katakan
apa yang seharusnya kau katakan. Cepat atau lambat dia harus segera tahu.>
Jujur
saja, memberi tahu kabar buruk bukanlah hobinya sama sekali.
“Count
Svenja dibunuh.”
Sepasang
tangan ramping itu gemetar. Punggung Alastar basah.
Ia
yakin gadis itu pun paham apa makna kejadian ini. Hari-hari damai mereka telah
berakhir.
Read User's Comments(0)
[Adaptation] Ibu
Ini cerpen ditulis buat salah satu lomba beberapa bulan lalu. Sayangnya ga menang #sedih Yaudah dipost disini ajah daripada ga ada yang baca :| *yalopeker blog ini bakalan ada yang baca gitu* Judulnya Ibu. Biasa, webe judul :|
=============================
Ibu
Detak-detak gagang kayu yang saling beradu mulai samar-samar
membelai telingaku. Suaramu berkutat dengan alat tenunmu, tak kusangka aku
masih bisa mengingatnya seolah baru kemarin aku mendengarnya terakhir kali,
alih-alih bertahun lalu. Kulihat sekeliling, ke jalan setapak yang dulu kita
buat bersama-sama dari kerikil yang kuambil di sungai, kini banyak dari
kerikilnya hilang atau berantakan, mungkin teracak hewan liar. Tanaman jarak
dan randu yang memagari tepiannya, kini sebagian berwujud tunggul-tunggul tebal
dengan tunas-tunas ringkih memenuhi bekas penggalan dahan, sebagian dibiarkan
tumbuh tinggi merimbun. Dari sela-sela ranting yang saling berjalin, aku
mengintip petak-petak yang dulu kautanami mawar hutan, dan sedap malam, dan
rumpun melati. Lalu kebun sayuran. Petak ubi dan labu. Pohon pisang dan mangga.
Dan pondok kayu kecil yang berdiri di tengah-tengah.
Seketika terasa sesuatu menusuk dadaku, melihat pondok kecil
itu seolah tengah berjuang hanya untuk bisa berdiri. Beberapa bagian yang tampak
jelas lapuk termakan cuaca, dinding yang disangga secukupnya dengan batang
kasar. Ibu, kau tinggal sendirian selama ini, setelah kepergianku. Tentulah tak
ada lagi yang membantumu mengganti kayu dinding yang lapuk, atau memperbaiki
atap. Lalu bagaimana dengan berburu, apakah Ibu masih menikmati daging
menjangan atau babi hutan sepeninggalku? Atau Ibu hanya memuaskan diri dengan
ikan-ikan yang ditangkap di sungai sebelah barat?
Detak mesin tenun terdengar semakin keras, bersamaan dengan
mendekatnya langkahku. Sosok si penenun yang duduk melipat kaki membelakangiku
di pelataran depan pondok tampak semakin jelas. Aku mengenali rambut panjangmu,
yang tebal dan sehitam arang. Aku menarik napas, mengingat-ingat bagaimana
rambutmu terasa sangat halus dalam genggamanku, bagaimana helai-helainya
terkadang jatuh ke wajahku saat kau menidurkanku, bagaimana wanginya seolah
ikut mengantarku ke kedamaian dalam lelap. Tentulah kau masih rutin mencuci
rambutmu dengan air bunga, melihat bagaimana petak bunga di sebelah pondok
masih terawat dengan baik. Aku mendesah tanpa suara. Berteriak dalam hati agar
kau menoleh, memperlihatkan padaku wajahmu yang selama tahun-tahun belakangan
hanya bisa kutemui dalam mimpi. Berharap kau bersuara, mengobati kerinduanku
akan dering merdu suaramu.
Ada ranting kering yang tak sengaja kuinjak. Terperanjat, kau
menghentikan gerak tanganmu, kepalamu terjulur mencari-cari arah suara.
Sepasang mata kelam itu akhirnya bersirobok dengan tatapanku.
Kulihat ada sinar terkejut di sana, dan juga sepercik kebingungan, namun sama
sekali tidak menghalangi kecantikanmu. Ah, paras itu, paras yang selama
bertahun-tahun mati-matian kuperjuangkan dalam ingatanku, tanpa sedikitpun sudi
melupakannya. Satu-satunya wanita yang kupuja, kini menatapku, dengan sepasang
mata kelamnya yang masih sama, pipinya yang masih merona segar, bibirnya yang
kemerahan, bak gadis yang baru saja mengucap selamat tinggal pada usia
remajanya. Aku melangkah satu-satu, semakin memperpendek jarak di antara kami.
Apakah selama kepergianku, tak ada seorangpun yang pernah berpapasan dengan
Ibu, atau sekedar mampir demi beristirahat dalam perjalanan? Apakah karena itu
Ibu terlihat bingung dan terkejut? Aku menarik senyum, menatapnya dengan
pandangan menenangkan.
“Selamat siang.”
“Selamat siang. Kisanak siapa?”
“Hanya seorang pengembara dalam perjalanannya. Sudikah
kiranya Nyisanak membagi saya barang segelas air? Saya sudah berjalan semenjak
matahari terbit tadi, kantung air saya sudah kembali kosong.”
Ibu, setelah bertahun-tahun lalu engkau mengusirku pergi,
akhirnya aku bisa menemukan jalan kembali ke rumah ini. Jalan kembali padamu.
Kuakui, apa yang kulakukan dulu itu bukanlah langkah pintar. Aku terlalu
terburu-buru dalam memenuhi tujuanku. Yah, lagipula, strategi pintar macam apa
yang bisa diharapkan dari seorang bocah hutan yang hanya mengenal busur dan
parang?
Anjing itu sangat dekat denganmu. Terlalu dekat. Dulu kupikir itu karena kau kesepian, karena hanya
ada kau, anjing itu, dan aku, anakmu yang masih bocah dan belum mengerti
apa-apa ini, tinggal seatap di pondok kayu di tengah hutan ini. Aku tak bisa
melihatmu mengisi hari dengan tatapan merindu pada sesuatu yang tak bisa
kulihat, karenanya, aku selalu menuruti kata-katamu. Menggali berdepa-depa tanah
untuk kautanami, agar kau tak perlu lagi berjalan jauh ke tengah hutan untuk
sekedar mencari makanan setiap harinya, atau bunga-bungaan untuk mencuci rambutmu.
Bolak balik mengangkuti kerikil dan bebatuan dari tepi sungai untuk jalan
setapak menuju rumah atau mengganti batu pondasi. Aku belajar memanah dengan
tekun darimu, agar aku bisa membawakanmu daging setiap kali kau ingin, mungkin
burung liar, mungkin luwak, mungkin juga menjangan kalau aku tengah beruntung.
Aku ingin menghabiskan setiap detik milikku hanya berada di
sisimu. Melihat senyummu.
Ya, kau tersenyum. Kau menepuk kepalaku, memujiku anak baik
dan penurut, berkata aku akan tumbuh jadi pemuda yang kuat. Aku puas. Aku
bangga. Kupikir dengan menjadi anakmu yang penurut, aku bisa menghapus kesepianmu.
Ternyata, tidak. Kau masih memandangi si anjing dengan
tatapan penuh damba. Kau masih menghabiskan malam-malam saat kau kira aku telah
terlelap, untuk duduk di pelataran depan dengannya, berbincang mengenai segala
hal, meski ia hanya bisa menanggapi dengan bisu, mungkin satu-dua gonggongan. Sempat
aku memeras otak, tidak habis pikir kenapa Ibu lebih menyayanginya daripada
diriku. Memberikan cintamu padanya, alih-alih padaku. Kenapa dan kenapa terus
menerus berputar di benakku. Kenapa? Bukankah aku anakmu, satu-satunya yang kau
punya, sementara dia hanyalah anjing pemburu belaka?
Barulah, di satu malam ketika bulan tengah penuh, berkilau
kekuningan tepat di atas kepala, aku mengerti semuanya. Anjing itu bukan hanya
sekedar anjing pemburu untukmu. Ia… ia lebih dari itu untukmu. (Aku muak
mengakui kalau ia segalanya untukmu).
Jelaslah, selama ia ada, aku tak akan pernah menjadi yang
satu-satunya di matamu. Aku hanya akan selalu jadi bocah, anakmu yang kaubilang
kau banggakan, yang selalu sigap melakukan apa saja untukmu, tapi hanya itu.
Satu-satunya yang bisa seorang bocah laki-laki pikirkan demi mendapatkanmu
seutuhnya, hanyalah dengan menyingkirkannya.
Ibu, bertahun-tahun telah berlalu. Kau pasti sudah melupakan
anjing itu, kan? Juga melupakan bagaimana sosok anak laki-lakimu yang dulu kau
usir dalam amarahmu. Aku telah tumbuh, Bu. Aku bukan lagi bocah kecil kurus
dengan rambut terbakar matahari dan suara melengking. Sekali melihat tatapan
menyelidikmu, aku tahu, kau sama sekali tak mengenaliku. Tapi, apakah kau pikir
aku akan sanggup melupakanmu, satu-satunya yang membuatku bertahan hidup selama
dalam pengembaraan? Apakah menurutmu aku akan melupakan rumah ini, rumah tempat
aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku, yang tanah kebunnya kucangkul sendiri,
yang jalan setapaknya kubangun sendiri?
Kau tersenyum. Masih senyummu yang dulu, yang manis, yang
ramah, yang seolah membuat wajahmu diberkahi cahaya para dewi. Namun kali ini,
senyummu juga terasa asing.
“Masuklah,” akhirnya kau berkata, meletakkan tenunan setengah
jadimu, berdiri mendekatiku. “Kisanak pasti lelah setelah perjalanan jauh.
Bagaimana kalau Kisanak juga makan barang sesuap dua bersama saya?”
Aku menampakkan wajah terkejut, sontak menggeleng untuk
menolak kebaikannya. “Tabu bagi seorang pria meminta ransum seorang wanita,
Nyisanak. Segelas air saja sudah cukup.”
“Kisanak tidak meminta, saya yang menawarkan,” kau kembali
mendesak, mengulurkan tanganmu, seolah hendak menarikku naik ke pelataran papan
saat itu juga. “Sudah lama sekali tidak ada yang berpapasan di jalan ini,
anggaplah Kisanak menemani saya menikmati makan.”
“Kalau begitu,” aku masih menampakkan raut ragu-ragu. Kau
menyukai pria yang sopan, bukan? Itu yang selalu kau ajarkan dulu padaku,
mendidikku jadi seorang ksatria yang tahu bagaimana bersikap dan beradat. “Izinkanlah
saya menebusnya dengan memperbaiki pondok Nyisanak ini. Seorang wanita sebaik
dan secantik Nyisanak tidak pantas tinggal di tempat dengan atap hampir roboh
seperti ini.”
Pipimu bersemu seiring senyummu yang semakin lebar. Ibu, apa
kau bahagia, pada akhirnya ada yang bisa membantumu memperlayak pondok ini? Apa
kau bahagia, pada akhirnya hari-harimu tak akan lagi sepi?
“Kisanak bisa lihat sendiri, memperbaiki pondok ini perlu
waktu yang tidak sebentar.”
“Tidak apa. Saya pengembara, tujuan saya adalah ke mana kaki
saya membawa. Bila hari ini kaki saya membawa saya ke pondok Nyisanak, baiknya
saya lakukan apa yang saya bisa untuk membantu.”
“Kalau begitu, tidak pantas jika saya hanya memberi Kisanak
sekali makan saja. Masuklah,” kau kembali tersenyum, melangkah mundur
mempersilakanku naik ke undakan, mengisyarakan untuk aku duduk di pelataran.
Kutatap punggungmu yang menjauh, menghilang di ambang pintu, samar-samar bisa
kucium aroma rambutmu, awalnya pekat dan dekat, kemudian menjauh. Suara-suara
berikutnya memberitahuku kau tengah menyiapkan sesuatu di belakang. Aku duduk
bersandar pada selasar. Menerawang jauh. Menyegarkan kembali ingatanku akan
sosokmu, akan senyummu, akan dering merdu suaramu, akan wangi tubuhmu.
Ibu, aku pulang.
Kali ini, untuk memilikimu seutuhnya. Selamanya.
SELESAI
Halow
Yagitudeh. Terkadang mau meracau di twitter, 140 karakter itu ga cukup bow :| Memang sudah saatnya ganti blog *sokbijak* tapi gue mutung sama Tumblr ah, dashboard barunya ga ramah koneksi :| *ato browser guenya yang sinting entah deh*
... Ya pokoknya 1st post ini entaran bakalan diedit ama yang lebih classy dan keren deh. Kaloniat :|
Subscribe to:
Posts (Atom)