Prompt 'kayu manis' dari Pila. Mungkin akan bersambung (kalo ga males) mungkin tidak #shot. Enjoy.
Here he comes.
“Selamat
sore! Pesan Cinnamon Latte seperti biasa?”
Sumpah,
aku sudah berusaha supaya tidak terdengar terlalu kegirangan atau sejenisnya
tapi—KENAPA MALAH JADI SEPERTI SOK TAHU BEGINI. Terima kasih kepada latihan
intensif yang dulu kuterima ketika memulai pekerjaan ini, senyumku masih wajar.
“Kau
sudah hapal,” dia nyengir lebar, lalu mengangguk mengiyakan. Haruskah kukatakan
kalau itu hanya gara-gara dia yang tak pernah memesan menu minuman lain? Tidak,
kalau dijelaskan nanti malah semakin terdengar aneh. Tapi—
DOH! Fokus, fokus! Kau ini sedang
bekerja, tahu!
“Satu
Cinnamon Latte panas ukuran sedang. Ada pesanan lain lagi?”
“Dua
cinnamon muffin—“
“Tambah
dua cinnamon muffin—“
“Yang
satu untukmu.”
“—Eh?”
Sebentar. Aku tidak salah dengar, kan? Dia mentraktirku. DIA MENTRAKTIRKU.
“Ucapan
terima kasih buat yang kemarin.”
Oh. Bahuku agak merosot. Kukira karena apa...
Padahal aku rela mentraktirnya kemarin saat dia baru sadar dompetnya tertinggal
di kantor. Jadi apa ini maksudnya, dia tak ingin merasa punya hutang padaku
atau apa?
“Tidak
usah. Kemarin kan memang kau perlu.”
“Kenapa?
Bukannya kau bilang kau paling suka cinnamon muffin?”
Astaga,
kenapa dia selalu punya cara untuk membuatku lagi-lagi meleleh. Aku sendiri
sudah lupa pernah bilang begitu. Mungkin waktu dulu merekomendasikan menu kami
padanya. Tapi dia masih ingat.
Curang. Kalau begini, mana bisa aku
menolak?
“Thanks.”
“Dah.”
Dan dia berlalu sambil membawa nampan berisi latte dan muffinnya, menuju
tempatnya yang biasa. Dia selalu datang di jam-jam sepi kafe, entah kebetulan
atau ada alasan lain (kebetulan saja, kebetulan saja! Tolol kau ini, apa-apa
kau anggap sebagai pertanda terus!), sehingga meja kecil untuk dua orang di sudut
itu hampir selalu kosong.
Meja
yang terlihat jelas dari kasir tempatku tengah berdiri.
Penampilannya
tampak seperti pekerja kantoran, mungkin usianya sekitar pertengahan dua puluh
atau awal tiga puluh. Kurasa ia datang setiap hari (aku bekerja paruh waktu
empat hari seminggu di kafe ini), selalu di jam segini, memesan menu sama, menghabiskan
sekitar satu atau dua jam. Di hari-hari ia tidak berkutat dengan laptopnya, ia
akan menghabiskan waktu dengan membaca buku (sayang aku tak bisa membaca apa
judulnya dari sini). Ia akan pulang di waktu makan malam ketika kafe mulai
ramai.
Sementara
aku menikmati dua jam yang singkat itu dengan sebisa mungkin mencuri pandang ke
arahnya di sela-sela melayani pengunjung.
Menyedihkan. Coba, berapa persen
kemungkinannya dia tidak menganggapku sekedar sebagai waiter kafe langganannya?
Sudah pasti keramahannya hanyalah sebatas balasan untuk pelayanan kami. Bisa
jadi dia hanya mengartikan sambutan hangatku untuknya sebagai standar prosedur
melayani pelanggan di kafe ini, kan? Makanya dia betah, makanya dia selalu
datang tiap hari. Yang ramah padanya toh bukan hanya aku—seluruh pekerja di kafe
ini sudah melalui latihan yang sama untuk selalu tersenyum riang dan menyambut
pelanggan dengan hangat.
Jantungku
langsung merosot ke perut. Yeah, sudah pasti begitu. Lagipula, mana ada sih
pria tiga puluhan yang betulan memberi perhatian lebih pada pelayan kafe? Kalau
wujudku adalah perempuan seksi dengan ukuran dada dan bokong yang menggiurkan
sih mungkin.
“Lho,
muffin-nya tidak kau makan?” Aku terperanjat. Sama sekali tidak kusadari kapan
dia berpindah ke depan meja kasir, menatapku yang tengah memasukkan muffin
pemberiannya ke kantung kertas. Canggung aku mengedikkan bahu. “Kan masih jam
kerja,” aku beralasan. “Bisa-bisa gajiku dipotong nanti.”
Dia
berdecak. “Jam kerjamu sampai jam berapa?”
Aku
mengerling jam tanganku. “Dua jam lagi.”
“Makan
malammu selalu telat, dong?”
“Aku
makan dulu sebelum kerja,” mau tak mau aku terkekeh kecil akan pertanyaannya.
Coba, dari segala hal yang bisa kau tanyakan pada pelayan kafe-mu, yang kau
tanyakan adalah tentang makan malam yang telat?
Lalu
aku baru sadar dia mungkin memerlukan sesuatu sampai mendatangi kasir.
“Ada
yang bisa kubantu?”
“Mungkin
aku makan malam di sini saja. Punya menu makan malam apa?”
Aku
hampir tak bisa menyembunyikan cengir kegiranganku mendengarnya. Dia makan
malam di sini. DIA MAKAN MALAM DI SINI! Itu berarti aku punya waktu lebih lama
melihatnya, kalau beruntung, mungkin hingga jam kerjaku habis.
Kusodorkan
daftar menu, merekomendasikan menu favorit di kafe kami. Yah, begini juga tidak
buruk. Bisa melihatnya selama beberapa jam dalam sehari, itu sudah cukup. Aku
tidak punya tempat untuk berharap lebih dari itu.
0 comments:
Post a Comment