Template Mouth-watering Sprites by EZwpthemes from bTemplates. Powered by Blogger.
RSS

Satu September

Ini cerpen yang diikutsertakan di rangkaian kompetisi Hogwarts Never Ends dari @HogwartsLandIna, temanya Hogwarts Never Ends. Alhamdulillah juara 2 :"> Enjoy!

============================================

Satu September


“Jadi?”

“Apaan?”

Si gadis molek berambut halus sepinggang itu berkacak pinggang, berdecak seolah lawan bicaranya menanyakan sesuatu yang retoris, bila kembali dijelaskan akan membuatnya terlalu lelah dan membuang terlalu banyak tenaga.

“Ulang tahun lo, apalagi?”

Entah memang tidak mengerti tingkat kekritisan topik yang diangkat si gadis molek itu, atau menurutnya dia hanya melebih-lebihkan—seperti biasa—si gadis berkepang masih anteng membereskan mejanya.

“Kenapa ulang tahun gue?”

“Ya ampun Heel!” gelang-gelang si gadis molek bergemerincing seiring ia mengepalkan kedua tangan saking gemasnya. “Denger ya,” ia tak tahan lagi dan memilih membuang sedikit tenaga dengan menjelaskan, “minggu depan itu ulang tahun elo. Yang ketujuh belas. Jadi gue nanya, pestanya di mana, dress code-nya apa, acaranya gimana, udah ada yang ngedampingin apa belom. Ampun deh, lo!” dan mengakhirinya dengan mengibaskan rambut, seolah bangga dirinya lebih pintar dari lawan bicaranya—atau mungkin ingin memamerkan rambut yang menurutnya jauh lebih menawan dan tampak ‘mahal’ dibandingkan rambut si lawan bicara.

Jawaban apapun yang diharapkan, sepertinya kikikan geli si lawan bicara bukan termasuk ke dalam salah satunya.

“Lah, ditanya malah ketawa!”

“Yaa, memang siapa juga yang bilang gue mau bikin pesta,” dia masih terkekeh geli, kini duduk untuk meladeni si gadis molek, barang-barangnya sudah terkemas rapi di dalam tas, kecuali sebuah buku bersampul tebal yang kini tengah ia genggam.

“Yang bener aja!” si gadis molek membelalakkan matanya, seolah tidak membuat pesta ulang tahun yang ketujuh belas adalah akhir dari dunia. “Tujuh belas, bo’, tujuh belas! Usia sakral, itu! Oke gue bisa terima lo memilih buat enggak merayakan ulang tahun lo sebelum-sebelumnya, tapi tujuh belas? Men, si Kiki yang cupu aja bulan kemarin bikin pesta gede-gedean, masa’ elo kalah?”

“Oh, gue setuju kok kalau tujuh belas itu usia sakral. Setuju banget, malah,” dia mengangguk-angguk mantap. Si gadis molek mengernyitkan kening, bingung dengan arah pembicaraan.

“Terus kenapa lo enggak mau bikin pesta…”

“Soalnya buat gue, tanggal ulang tahun itu enggak begitu penting.”

“…Katanya tujuh belas sakral, tapi tanggal ulang tahun enggak penting. Gue enggak paham sama lo.”

“Ya jangan dipikirin,” dia kembali tertawa renyah, mengalihkan perhatiannya pada buku tebal yang sedang ia buka. Si gadis molek mengerling, mengenali buku itu.

“Perasaan lo mulai baca buku itu udah lama.”

“He eh.”

“Belum kelar?”

“Udah kok.”

“Terus?”

“Baca ulang.”

“Buset… Buku jaman kapan sih, itu?” matanya menangkap lembaran halaman yang sudah menguning dengan beberapa ujung keriting, jilid punggungnya sedikit lepas, dan tepian sampul tebalnya yang lecek, meski plastik sampulnya tampak baru. Dia heran masih ada orang yang mau-mau saja membawa buku setebal batu bata itu kemana-mana.

“Hmm, jaman Mami gue remaja. Dua puluh lima tahun lalu ada kali.”

“…”

Di titik ini, si gadis molek menyerah untuk memahami kenapa selera temannya ini lebih kuno dari salah satu teman sekelas yang paling kampungan sekalipun.

“Buku ini alasan kenapa tanggal yang penting buat gue itu, tanggal satu September. Bukan tanggal ulang tahun.”

Pernyataan si gadis berkepang membuat si gadis molek mulai berpikir kalau absurditas sepertinya adalah sebuah penyakit turunan.

***

Sejak sepanjang yang bisa Helena ingat, tak ada dinding kosong di rumahnya yang tidak tertutup lemari penuh sesak dengan buku, kebanyakan buku-buku tua dengan halaman yang sudah menguning dan jejak usia di sampulnya. Di ruang tengah, di kamar orangtuanya, di kamarnya, ruang di bawah tangga, pokoknya di semua tempat. Orangtuanya mengoleksi buku sejak mereka masih sangat kecil, dan ketika menikah, keduanya membawa serta buku-buku mereka ke rumah baru.

“Buku itu menyenangkan, lho,” Helena ingat Mami dulu pernah berkata begitu. “Kita bisa pergi ke banyak tempat, melakukan banyak petualangan, jadi banyak orang… kita mungkin akan mati berkali-kali, tapi kita bisa kembali hidup lagi, dengan petualangan berbeda, menemukan banyak hal baru lainnya. Semuanya hanya dengan duduk dan membaca.”

“Kan bisa baca dari situ,” Helena menunjuk tablet Mami.

“Tapi, itu nggak bisa ngalahin rasa menyenangkan dari baca buku betulan seperti ini.”

Tidak hanya memberitahunya, Mami juga memperlihatkan pada Helena keajaiban-keajaiban yang tersimpan dalam lembaran-lembaran buku, mengajak serta Helena bertualang. Mengunjungi berbagai negeri, mengamati kisah para putri dan pangeran, menjadi murid sekolah asrama khusus perempuan di Inggris, bertualang di laut dalam, dan masih banyak lagi. Mami menyimpan buku-buku bergambar untuk Helena di rak buku mungil di pojok kamarnya. Mami bilang, itu rak buku milik Helena. Dia boleh membaca buku-buku di sana kapanpun dia mau, tanpa harus menunggu Mami membacakan untuknya. Sayang, Helena belum bisa membaca dengan cepat, dan seringkali ia kesal sendiri dengan lamanya waktu yang ia perlukan untuk menyelesaikan satu halaman. Kalau sudah begitu, Helena akan ngambek membaca dan merengek pada Mami untuk dibacakan.

“Kalau kamu sering baca, lama-lama bisa lancar, kok,” begitu selalu Mami menghiburnya. Katanya, dulu waktu Mami seusia Helena, Mami juga baru bisa baca pelan-pelan. Helena menurut, walau dalam hati ia tidak percaya kalau Mami pernah jadi anak kecil.

Di antara lemari-lemari buku di rumah, ada satu lemari yang menarik perhatian Helena karena Mami sering sekali membaca buku yang disimpan di sana hingga berkali-kali. Buku-bukunya tebal, tulisan di kebanyakan sampul tidak bisa ia mengerti, dan gambar sampulnya bagus. Gambar seorang anak laki-laki berkacamata gagang bulat dengan tanda sambaran kilat di dahinya selalu muncul di hampir semua sampul buku. Lalu ada yang bergambar batu merah, ukiran ular, gelas aneh yang mengeluarkan cahaya biru… Helena bertanya-tanya apa buku-buku itu sama seperti buku bergambar di lemari buku miliknya. Kalau iya, apa saja isinya sampai setebal itu?

“Mami suka banget ya sama buku yang di situ?”

“Hmm… begitulah,” jawab Mami sambil terkekeh, ketika Mami kembali mengambil salah satu dan mulai membaca.

“Itu buku apa, sih?”

“Ceritanya tentang Harry Potter, anak laki-laki yang nggak punya Mami dan Papi. Dia baru tahu kalau dia penyihir waktu usia sebelas tahun, terus dia sekolah di sekolah penyihir.”

“Nggak punya Mami dan Papi kayak Helena?”

“Mm-hmm.”

Helena mengerutkan kening. Kedengarannya sedih sekali. Bagaimana ceritanya sampai dia tidak punya Mami dan Papi? Kalau begitu, siapa yang melahirkannya? Tapi Mami tadi bilang soal ‘penyihir’, berarti ceritanya seperti cerita di buku-buku bergambar miliknya, kan?

“Kok banyak banget?”

Mami berdiri, menggendong Helena agar Helena bisa melihat deretan buku di rak bagian atas. “Ceritanya ada tujuh buku,” Mami menunjuk deretan di paling atas sebelah kiri. “Yang nulis orang Inggris, jadi ini buku asli yang terbit di Inggris sana,” tunjuk Mami ke deretan di bawah. “Sampulnya ada macam-macam, jadi waktu Mami bisa beli, Mami beli yang sampulnya beda. Sebelah sini, yang terbit di Amerika. Ini yang terbit di Jepang. Kalau yang ini di Korea. Kalau yang ini, di Denmark. Makanya hurufnya beda.”

“Memang Mami bisa baca?”

“Nggak.” Lalu Mami tertawa lagi.

“Terus kenapa beli dong?”

“Soalnya Mami suka.”

Jawaban Mami membuat Helena takjub. Rasanya ia baru melihat Mami yang seperti ini, seperti tidak ada bedanya dengan Helena saat Mami akhirnya membelikannya buku baru atau mainan yang ia sukai.

Helena boleh baca juga?”

Maminya tersenyum. “Boleh, dong. Tapi…” Mami menggoyang-goyangkan telunjuknya, “kalau kamu udah gede, ya.”

“Helena udah gede!” bocah itu makin cemberut. Betul, kok, Helena sudah besar. Dia sudah bisa pipis dan pup di toilet, sudah bisa membaca, sudah bisa menyebutkan namanya tanpa ada salah pengucapan, sudah bisa makan sendiri, bahkan sudah bisa membaca jam. Kurang ‘gede’ apa lagi?

Mami lalu mengambil selembar kertas putih dari atas meja, juga kotak spidol warna milik Helena.
“Sini, duduk,” Mami mengajak Helena duduk bersama. “Bayangkan kertas ini seperti kamu waktu lahir.” Helena mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud pembicaraan Mami. Jadi maksudnya bagaimana, apa waktu Helena lahir itu dia pipih dan kotak seperti kertas? Atau haruskah Helena menggambar bayi di atas kertas itu? Atau bagaimana?

“Ingat waktu kita main ke rumah Tante Lastri, lihat dedek bayinya yang baru lahir?”

Bocah kecil itu mengangguk. Tentu saja. Belum lama mereka berkunjung, bagaimana Helena bisa lupa? Lagipula, bayinya Tante Lastri sangat lucu, Helena betah bermain dengannya.

“Coba ingat-ingat, dedek bayinya bisa ngomong enggak?” Helena memiringkan kepalanya, mengingat-ingat.

“Helena nggak ngerti bahasa bayi,” akhirnya dia menjawab. Dia cukup yakin celotehan bayi itu adalah caranya berbicara, dan menganggap karena dirinya sudah bukan bayi, maka dia tak bisa lagi mengerti apa yang bayi lain bicarakan.

“Bayinya bisa jalan, nggak?”

“Nggak. Harus digendong terus sama Tante Lastri.”

“Itu karena kaki dedek bayinya belum kuat buat jalan sendiri. Ingat nggak kapan kamu bisa mulai jalan?”

Dia tidak ingat kapan atau bagaimana persisnya dia mulai belajar berjalan, tapi dia ingat pernah jatuh sampai terguling ketika berjalan di halaman, kedua lututnya luka lumayan besar, dan bekasnya masih ada hingga sekarang.

“He eh.”

“Nah, kamu waktu baru lahir juga sama kayak dedek bayinya. Nggak bisa ngomong, nggak bisa jalan, apalagi baca. Kamu cuma tahu lapar sama ngantuk, terus ngasih tahu Mami pakai tangisan. Kamu belum tahu apa-apa. Sama kayak kertas putih ini,” Mami menunjuk kertas putih di depan mereka.

“Kamu mulai denger suara-suara yang bisa dibuat orang,” Mami mengambil spidol biru, menulisi kertas dengan berbagai rangkaian kata seperti ‘BUBUBU’ dan ‘DADADA’ dalam huruf kapital. “Kamu juga lihat gimana cara orang bikin suara itu. Walau kamu belum bisa ngomong, Mami sama Papi sering ngajak kamu ngomong, lho. Lama-lama, kamu bisa ngikutin suara-suara yang Mami buat. Awalnya kamu cuma bisa bilang ‘mamam’,” Mami menulis ‘MAMAM’ dengan spidol hijau. “Terus kamu bisa ngomong kata-kata lain,” Mami lalu menulis banyak kata lain dengan warna yang lain. “Kamu akhirnya bisa panggil Mami sama Papi. Kamu bisa ngikutin waktu berhitung sama Mami. Ingat?”

Helena mengangguk. Dia tidak ingat, tapi dia mulai mengerti maksud Mami.

“Sampai sekarang kamu bisa ngomong, bisa jalan, bisa baca, itu karena kamu lihat dan dengar sekeliling kamu. Kamu dengar Mami, Papi, juga Mbak Tin ngomong. Kamu juga lihat dari TV, orang-orang di jalanan… pokoknya semua yang terjadi di sekeliling kamu, semuanya ditangkap sama mata, telinga, hidung kamu, terus diserap dan diolah di sini,” Mami menunjuk kepala Helena. Helena mengangguk-angguk, padahal ia belum bisa menangkap apa hubungannya soal proses belajar berbicara dengan syarat ‘sudah gede’ dari Mami.

“Waktu dedeknya Tante Lastri kamu ajak ngomong, dia bisa jawab, nggak?”

“Nggak.”

“Terus kalau kamu ajak Mbak Tin ngomong, Mbak Tin ngerti, nggak?”

“Iya.”

“Proses belajar manusia itu nggak bisa sekali jadi. Kayak dedek bayi yang baru lahir, masih banyak yang dia belum ngerti. Kayak kertas putih ini sebelum ditulisi. Kayak kamu waktu masih bayi juga. Dan terus, sepanjang hidupnya, manusia bakal terus belajar hal-hal baru, yang bikin dia jadi lebih baik dari hari sebelumnya.”

“Kayak Mami juga?”

“Tentu. Semua orang kan pas lahir jadi bayi dulu.”

“Kenapa?”

“Kalau begitu keluar udah segede Mami, kasihan para ibunya dong, harus bawa-bawa orang segede itu di perut.”

Helena kemudian membayangkan Mami yang sebesar itu di dalam perut Umi. Dia merinding.

“Serem banget jadinya.”

“Tuh, kan,” Mami tertawa lagi.

“Jadi kalau Helena baca sekarang, Helena nggak bakalan ngerti?”

“Kasihan otak kamu nanti kalau dikasih cerita yang terlalu berat.”

“Terus kapan Helena boleh baca?” tanya bocah kecil itu sedih.

“Hmm…” Mami tampak berpikir. “Begini saja. Petualangannya Harry dimulai waktu dia sebelas tahun. Nanti, kalau kamu sebelas tahun, kamu boleh baca buku yang pertama. Gimana?”

Helena sontak melompat berdiri, matanya berbinar-binar, bibirnya tersenyum sangat lebar. “Betulan?”

“Iya dong.”

“Mami janji?”

“Janji.”

“Jadi,” kaki-kaki kecil Helena berderap saat bocah itu berlari menuju layar yang dipasang di dinding ruang tengah mereka sebagai papan agenda, menarik kursi agar bisa berdiri menjangkaunya. “Sekarang Helena empat tahun,” jari-jari gemuknya terlipat satu demi satu saat ia menghitung usianya sendiri, “berarti… tujuh tahun lagi?”

Mami menyusulnya, membuka menu kalender di layar papan agenda. Dia terus menekan tombol sampai muncul tanggalan bulan September, tujuh tahun kemudian.

“Tujuh tahun lagi, tanggal satu September. Tuh, Mami tandain.”

“Ulang tahun Helena kan bukan September…”

Mami tersenyum misterius. “Nanti kamu tahu sendiri kenapa.”

“Iih, kasih tahu Helena sekarang!”

“Percaya deh sama Mami, bakal lebih asyik kalau kamu cari tahu sendiri kenapa pas baca bukunya nanti,” Mami mengedip jahil. Helena cemberut. Tujuh tahun itu sepertinya bakalan sangat lamaaa sekali.

***

Dalam cahaya temaram lampu tidur bertudung di meja samping tempat tidur, gadis itu berguling-guling gelisah. Sejak bilang akan tidur pada orangtuanya beberapa jam lalu, ia terlalu bersemangat untuk bisa menenangkan diri dan tertidur, malah mengisi waktu dan mengusir kebosanan dengan berguling-guling dan sesekali memainkan telepon genggamnya. Betul-betul tak ada beda dengan bocah kecil yang akan pergi karya wisata keesokan harinya. Besok memang dia tak akan pergi ke mana-mana, namun ada sesuatu yang dinantinya setiap tanggal satu September tiba, rutinitas yang telah dia dapatkan selama tujuh tahun belakangan ini. Bahkan ia merasa, kegembiraan yang ia dapatkan di tanggal satu September setiap tahunnya jauh lebih berarti daripada ulang tahunnya, sesuatu yang bahkan teman dekatnya saja merasa aneh.

Jam digital dengan angka menyala dalam gelap di atas meja samping tempat tidurnya berkedip-kedip setiap detiknya. Semakin mendekati jam yang ia nantikan, semakin ia tidak mengalihkan pandang dari angka-angka digital yang berpendar kehijauan itu. Akhirnya, jamnya mencapai angka 03.00 pagi. Telinganya menangkap langkah-langkah samar yang ditahan di luar pintu kamarnya, suara orang berbisik-bisik, lalu sesuatu disimpan di depan pintu kamarnya. Tingkat semangat gadis itu meningkat dengan pesat, mati-matian menahan diri tak bergerak di bawah selimut, tak ingin orang di luar kamarnya itu tahu kalau dirinya tidak tidur—meski, yah, sepertinya mereka sudah bisa menebak kalau ia tidak tidur, sejak dia kedapatan duduk menunggu di depan pintu kamarnya dengan mata terbuka lebar dan tingkat kengantukan nol besar dua tahun lalu.

Dia menunggu hingga langkah-langkah itu menjauh, semakin samar dan semakin samar, dan suara pintu beberapa meter jauhnya dibuka. Dia menunggu hingga suara ceklik kunci terdengar, menghitung hingga tiga dalam hati, dan melompat turun, hampir jatuh tersandung selimut saat memburu pintu kamarnya.

Dalam kegelapan selasar kamarnya, gadis itu sudah bisa menebak apa yang akan ia dapatkan. Seperti yang selalu ia dapatkan sejak tujuh tahun lalu, sebuah kotak dengan kertas pembungkus warna cokelat dan diikat tali rami diletakkan di depan pintu kamarnya. Ada amplop perkamen di atasnya, bagian dengan segel lilin merah anggur menghadap ke atas. Tanpa menunggu lagi gadis itu menyambar kotaknya dan kembali menutup pintu, hampir saja refleks berteriak kegirangan kalau tidak ingat ini masih pagi buta dan seisi rumah masih gelap.

Di atas tempat tidur, gadis itu membaca alamat pengirimnya dulu, yang tertulis Miss Helena Nataprawira, atas tempat tidur, kamar ketiga dari pintu depan, Kompleks Apartemen B, Lantai 15, rumah nomor 1517. Ia kemudian membaliknya, dengan teliti melepaskan segel lilin tanpa menghancurkannya. Dia menarik keluar surat dari perkamen yang ditulisi dengan huruf-huruf sambung meliuk-liuk, ada logo huruf H yang dikelilingi singa, ular, gagak, dan musang tercetak di atas, seperti yang selalu ia dapatkan setiap tahunnya. Dia membesarkan nyala cahaya lampu di atas meja samping tempat tidur, mulai membaca suratnya.


Helena Sayang,

Ini tahun ketujuh kita melakukan rutinitas ini. Sekaligus, ini juga yang terakhir, karena petualangan Harry pun berakhir di tahun ketujuhnya.

Mami pertama kali membaca buku Harry Potter dan Batu Bertuah ketika Mami juga sebelas tahun. Itu buku paling tebal pertama yang sanggup Mami selesaikan hanya dalam satu hari. Mami sangat tidak sabar untuk kembali ke toko buku lagi, membeli buku kedua dan ketiganya. Sejak saat itu, Mami selalu menunggu untuk buku berikutnya, dan buku berikutnya lagi, hingga buku terakhirnya di tahun ketujuh Mami mengenal Harry Potter dan tokoh-tokoh lain.

Melalui Harry Potter, Rowling telah mengajarkan Mami banyak hal berharga dalam kehidupan. Tentang keberanian, tentang ketidaksempurnaan manusia dan bagaimana kita harus terus berjuang dan maju dalam ketidaksempurnaan yang kita miliki, tentang betapa berharganya keluarga dan teman yang kita miliki, tentang bagaimana cinta seorang ibu bisa memberinya kekuatan untuk melindungi mereka yang berharga untuknya, membimbing Mami untuk menjadi ibu yang seberani Molly, seloyal Lily, dan setegar Narcissa.

Karenanya, Mami ingin agar Harry Potter juga mengajarkanmu hal-hal itu. Kehidupanmu masih akan sangat panjang, Mami harap, dengan memahami banyak hal dalam kehidupan, kamu bisa terus menjalaninya dengan berdiri tegak dan menerima segalanya dengan tangan terbuka. Seperti halnya Harry Potter membantu Mami memandang puluhan tahun kehidupan Mami dari sudut pandang berbeda, seperti itulah Mami ingin Harry Potter membantumu.

Rowling memang telah selesai menulis Harry Potter berpuluh-puluh tahun lalu. Tapi, seperti yang pernah dia bilang, ‘Whether you come back by page or by the big screen, Hogwarts will always be there to welcome you home.’ Hogwarts akan selalu jadi rumah Mami, dan juga rumahmu.


Dengan sayang,


Mami.


Setitik air mata jatuh membasahi perkamen yang tengah ia genggam, meski bibirnya tersenyum sangat lebar dari telinga ke telinga. Bungkusan kotaknya dibuka. Di dalamnya berisi buku Harry Potter dan Relikui Kematian, Harry Potter and the Deathly Hallows dengan gambar bandul kalung emas bertatahkan batu hijau membentuk huruf S, dua kotak Blu-Ray film bagian pertama dan kedua, dan buku berjudul Tales of Beedle the Bard.

Dia mengambil kartu ucapan dan pulpen yang telah ia siapkan di sebelah lampu tidur, mulai menulisinya.


Terima kasih, Mami. Tujuh tahun terakhir ini, tahun-tahun yang luar biasa buat Helena, dengan hadiah-hadiah terbaik setiap tahunnya. Sekarang Helena mengerti kenapa Mami masih menyukai buku-buku ini. Terima kasih karena Mami sudah percaya sama Helena untuk menjaganya, terima kasih juga sudah memberi Helena pelajaran berharga melalui buku-buku ini. Seperti Mami pernah bilang dulu, buku adalah petualangan yang menyenangkan.

Helena sayang Mami.


--TAMAT--

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS