Template Mouth-watering Sprites by EZwpthemes from bTemplates. Powered by Blogger.
RSS

An Ordinary Night



A.N: Tiba-tiba aja kemarin pingin nulis tentang domestic life dari couple yang udah lama banget bareng-bareng, bukan di tahap pendekatan atau pra-relationship lagi. Terus Amel (@swizzerzz) nimpalin di Twitter. Awalnya mau nulis soal old couple yang tinggal berdua karena anak-anaknya udah gede semua tapi jadinya malah ini... =')) gue lagi ga napsu nulis FF jadi gapake karakter universe manapun. Mungkin si couple di sini dua karakter dari fic gue yang Apple & Cinnamon di blog sebelumnya, tapi dipikir2 lagi ada detil yang beda, tapi yoweslahyaaa~~ Singkat banget, dibikinnya cuma dari sekitar jam 2-an diselang makan siang. Gaada konflik, gaada klimaks-antiklimaks, murni cuma blurb =))

Judulnya judul WB. Seperti biyasa~ Enjoy :3

==========================

An Ordinary Night


Ceklik halus terdengar seiring kunci diputar. Selasar kosong dan sunyi seolah tak berpenghuni menyambut begitu daun pintu mengayun, hanya lampunya yang menyala menandakan rumah itu tidak sepenuhnya kosong. Dia meletakkan tas plastik yang lumayan besar dan tas kerjanya, lalu melepas sepatu dan mantel, mengaitkan mantelnya ke tiang kaitan yang berdiri di sebelah saklar lampu. Langkahnya sengaja dipelankan. Lampu di selasar tengah mati, namun pintu menuju ruang santai dan dapur terbuka setengah, cahaya berpendar dari dalam. Dia berbelok ke dapur.

Seorang gadis remaja empat belas tahun dalam kaus tua kebesaran dan celana pendek longgar tengah duduk dengan kaki terlipat di kursi sarapan sambil memangku mangkuk es krim, matanya terfokus pada layar laptop di depannya, headphone menutupi kedua telinganya, sama sekali tidak tampak seperti menyadari ada orang lain yang masuk ke dapur. Baru setelah pria itu meletakkan kantung plastik yang dia bawa di sebelah laptop, si gadis menyadari kehadirannya. Senyumnya langsung terkembang lebar.

“Makan apa?” tanpa ba-bi-bu si gadis berambut pirang stroberi sebahu melepaskan headphone dan membongkar isi kantung plastik, mangkuk es krimnya diletakkan di sebelah. “Please jangan bilang Chinese lagi. Aku bosan.”

Si pria paruh baya dengan rambut kelimis pirang gelap bergaris uban, meletakkan ketel air di atas kompor untuk membuat teh, terkekeh pelan. “Stew,” katanya, “ada pai daging juga. Ibumu mana?”

Wajah si gadis bertambah cerah seketika, sepasang mata hijaunya membulat. “Pai daging Mrs. Anne’s?” meski, tanpa harus bertanya pun, dia mengenali aroma khas favoritnya yang menguar begitu kotak pembungkusnya dibuka. Gadis itu melenguh puas.

“Mum masih di ruang tengah. Tidur mungkin. Aku mau teh juga, Dad,” gadis itu turun dari kursinya dan menyimpan es krim kembali di lemari es. Dia mengeluarkan roti sourdough yang tinggal setengah dan keju dari wadah penyimpanan, mengiris tebal-tebal untuk tiga orang. Ketel di atas kompor bersiul. Si pria paruh baya membuka kaleng timah tempat daun teh, keningnya berkerut halus mendapati isinya hampir habis.

“Besok aku mengajar setengah hari. Mau belanja habis kau pulang sekolah?”

“Oke,” Si gadis mengangguk, kini memotong-motong pai. Irisan roti dan keju sudah diatur di piring saji. Stew dipindahkan ke tiga mangkuk.

 “Sama Mum juga?”

“Na’ah, ibumu bakal masih sibuk sampai minggu depan,” si ayah menyahut, meletakkan dua cangkir teh di atas meja sebelum menarik kursi. “Kau saja yang buat daftar belanjanya.”

Putrinya memberi anggukan kecil sebagai jawaban, terlalu sibuk menghirup stew dan mengunyah roti dengan mata masih terpancang pada layar laptop, filmnya sudah kembali diputar. Pria itu menata makanan di atas nampan, membawanya ke ruang tengah.

“Kerjakan PR-mu habis makan, ya,” ujarnya sebelum berlalu.

“Iyaa.”

Dia mendorong pintu ruang tengah hingga terbuka sepenuhnya dengan sebelah bahu. Lampunya menyala, namun sunyi tak ada suara apapun. Matanya tertumbuk ke arah sofa panjang di depan televisi, seseorang bergelung nyaman terbalut selimut tebal. Perangkat PC istrinya yang dipindahkan dari ruang kerja memenuhi setengah permukaan meja kopi pendek, kabel-kabel berseliweran di atas karpet. Setengah permukaan meja sisanya tertutup gulungan besar kertas dan tumpukan buku tentang arsitektur dan desain.  Teko air berisi setengah dan gelas kosong terletak di samping meja.

Dia menggeser beberapa tumpukan buku, meletakkan nampannya. Helai-helai halus cokelat gelap menyembul dari balik selimut yang naik-turun seiring irama napas. Dia duduk melipat kaki di bawah sofa, mengerling profil wajah kelelahan istrinya yang lelap, mengelus anak-anak rambut di pelipisnya dengan sayang, menahan keinginan untuk mengecup keningnya karena tak ingin membangunkan sang istri yang terlelap.

Televisi dia nyalakan tanpa suara, menampilkan acara berita. Dia mulai makan.

Ada gerakan pelan yang ia rasakan dari belakang punggungnya. Menoleh sambil mulutnya masih mengunyah pai, mendapati istrinya perlahan bangun, mengucek mata.

“Pagi,” selorohnya, meski nyata-nyata display jam di sudut kiri bawah layar televisi menunjukkan pukul tujuh malam lewat beberapa menit, disambut wajah cemberut istrinya—yang tidak bertahan lama begitu mengendus aroma familiar dan mengenali isi piring dalam pangkuan sang suami.

“Mmm, pai Mrs. Anne’s?”

“Mm-hmm,” sahut si suami, menawarkan sesendok penuh yang langsung dilahap si istri. Dia memejamkan mata, menikmati rasa lezat pai seperti orang belum makan seminggu. Wanita itu merosot dari sofa, duduk di atas lantai berkarpet tebal di sebelah suaminya. Dengan masih tergulung dalam selimut, tangannya mengambil mangkuk stew dan mulai makan. Sang suami bergiliran menyuapkan pai untuk dirinya dan istrinya.

“Bagaimana pekerjaanmu?”

“Lumayan. Cukup untuk kupresentasikan di rapat dengan tim besok,” dia meringis. “Besok kau mengajar seharian?”

“Setengah hari, lalu belanja dengan Jess.”

Wanita itu mengerang. “Aku lupa kulkas sudah hampir kosong,” ujarnya dengan nada minta maaf. Si pria terkekeh, menepuk puncak kepala istrinya seolah itu masalah kecil.

“Mau kujemput lalu makan malam setelah kami selesai belanja besok?”

“Yeah, boleh.”

Keduanya meneruskan makan dalam hening. Dia menyuapi istrinya pai, si istri menyuapinya stew. Istrinya menaikkan volume suara televisi. Penyiar berita sedang membacakan liputan luar negeri.

Makan malam mereka habis tepat ketika liputan cuaca ditayangkan. Si wanita mengernyit, mengomentari tentang badai yang diperkirakan akan tiba beberapa hari lagi. Si pria menimpali akan berbelanja ekstra besok dan memeriksa penghalang badai serta saluran gas, listrik dan air akhir minggu ini untuk berjaga-jaga. Percakapan bergulir pada topik klien rewel yang tengah ditangani si wanita, persiapan masa ujian akhir semester di kampus si pria, lalu tentang tetangga tua yang tinggal di flat satu lantai di atas mereka, yang tempo hari membagi keju yang dibuatnya sendiri. Lalu si pria berdiri, membawa nampan berisi peralatan makan ke dapur. Putrinya masih di meja sarapan, masih menghadapi laptopnya, kali ini dengan wajah berkerut penuh konsentrasi. Kertas-kertas berisi coretan bertebaran di samping.

“Dad, aku nggak ngerti ini,” si gadis remaja tanggung mengeluh, pensilnya menunjuk pada deretan soal aljabar di layar. Si ayah menarik kursi mendekat, mengamati soal yang ditanyakan, mengambil selembar kertas dan pensil lain dan mulai menjelaskan. Lalu menghabiskan setidaknya tiga puluh menit berikutnya mengawasi anak gadisnya mengerjakan PR, hingga si gadis meyakinkan ayahnya kalau ia bisa mengerjakan sisanya sendiri. Si pria bangkit untuk menata piring dan mangkuk di mesin pencuci piring dan menyalakannya.

“Aku di ruang tengah kalau kau butuh bantuan lagi,” ujarnya. Anak gadisnya mengacungkan jempol.

Si pria menenteng sleeping bag yang ia keluarkan dari lemari penyimpanan setelah berganti baju, menggelarnya di atas lantai berkarpet tidak jauh dari istrinya yang tengah bekerja diiringi lagu-lagu The Who sambil sesekali ikut bernyanyi di bagian yang ia tahu. Televisi sudah dimatikan. Dia mengeluarkan laptop dari tas kerjanya, mulai memeriksa tugas para mahasiswanya sambil tengkurap di dalam sleeping bag. Lengan-lengan jarum jam dinding terus berputar. Lalu terdengar suara halus langkah kaki anak gadisnya pindah ke kamar.

Malam semakin larut. Si pria duduk dan meregangkan badan, mendapati istrinya sudah tertidur lagi di sofa dengan posisi tubuh tertekuk ganjil. Dia mendekat, membetulkan selimut istrinya, lalu mengecup dahinya penuh sayang. Istrinya bergerak-gerak meluruskan kaki, lalu kembali terlelap.

Dia mematikan laptopnya dan merangkak masuk ke dalam sleeping bag.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS