Template Mouth-watering Sprites by EZwpthemes from bTemplates. Powered by Blogger.
RSS

An Ordinary Night



A.N: Tiba-tiba aja kemarin pingin nulis tentang domestic life dari couple yang udah lama banget bareng-bareng, bukan di tahap pendekatan atau pra-relationship lagi. Terus Amel (@swizzerzz) nimpalin di Twitter. Awalnya mau nulis soal old couple yang tinggal berdua karena anak-anaknya udah gede semua tapi jadinya malah ini... =')) gue lagi ga napsu nulis FF jadi gapake karakter universe manapun. Mungkin si couple di sini dua karakter dari fic gue yang Apple & Cinnamon di blog sebelumnya, tapi dipikir2 lagi ada detil yang beda, tapi yoweslahyaaa~~ Singkat banget, dibikinnya cuma dari sekitar jam 2-an diselang makan siang. Gaada konflik, gaada klimaks-antiklimaks, murni cuma blurb =))

Judulnya judul WB. Seperti biyasa~ Enjoy :3

==========================

An Ordinary Night


Ceklik halus terdengar seiring kunci diputar. Selasar kosong dan sunyi seolah tak berpenghuni menyambut begitu daun pintu mengayun, hanya lampunya yang menyala menandakan rumah itu tidak sepenuhnya kosong. Dia meletakkan tas plastik yang lumayan besar dan tas kerjanya, lalu melepas sepatu dan mantel, mengaitkan mantelnya ke tiang kaitan yang berdiri di sebelah saklar lampu. Langkahnya sengaja dipelankan. Lampu di selasar tengah mati, namun pintu menuju ruang santai dan dapur terbuka setengah, cahaya berpendar dari dalam. Dia berbelok ke dapur.

Seorang gadis remaja empat belas tahun dalam kaus tua kebesaran dan celana pendek longgar tengah duduk dengan kaki terlipat di kursi sarapan sambil memangku mangkuk es krim, matanya terfokus pada layar laptop di depannya, headphone menutupi kedua telinganya, sama sekali tidak tampak seperti menyadari ada orang lain yang masuk ke dapur. Baru setelah pria itu meletakkan kantung plastik yang dia bawa di sebelah laptop, si gadis menyadari kehadirannya. Senyumnya langsung terkembang lebar.

“Makan apa?” tanpa ba-bi-bu si gadis berambut pirang stroberi sebahu melepaskan headphone dan membongkar isi kantung plastik, mangkuk es krimnya diletakkan di sebelah. “Please jangan bilang Chinese lagi. Aku bosan.”

Si pria paruh baya dengan rambut kelimis pirang gelap bergaris uban, meletakkan ketel air di atas kompor untuk membuat teh, terkekeh pelan. “Stew,” katanya, “ada pai daging juga. Ibumu mana?”

Wajah si gadis bertambah cerah seketika, sepasang mata hijaunya membulat. “Pai daging Mrs. Anne’s?” meski, tanpa harus bertanya pun, dia mengenali aroma khas favoritnya yang menguar begitu kotak pembungkusnya dibuka. Gadis itu melenguh puas.

“Mum masih di ruang tengah. Tidur mungkin. Aku mau teh juga, Dad,” gadis itu turun dari kursinya dan menyimpan es krim kembali di lemari es. Dia mengeluarkan roti sourdough yang tinggal setengah dan keju dari wadah penyimpanan, mengiris tebal-tebal untuk tiga orang. Ketel di atas kompor bersiul. Si pria paruh baya membuka kaleng timah tempat daun teh, keningnya berkerut halus mendapati isinya hampir habis.

“Besok aku mengajar setengah hari. Mau belanja habis kau pulang sekolah?”

“Oke,” Si gadis mengangguk, kini memotong-motong pai. Irisan roti dan keju sudah diatur di piring saji. Stew dipindahkan ke tiga mangkuk.

 “Sama Mum juga?”

“Na’ah, ibumu bakal masih sibuk sampai minggu depan,” si ayah menyahut, meletakkan dua cangkir teh di atas meja sebelum menarik kursi. “Kau saja yang buat daftar belanjanya.”

Putrinya memberi anggukan kecil sebagai jawaban, terlalu sibuk menghirup stew dan mengunyah roti dengan mata masih terpancang pada layar laptop, filmnya sudah kembali diputar. Pria itu menata makanan di atas nampan, membawanya ke ruang tengah.

“Kerjakan PR-mu habis makan, ya,” ujarnya sebelum berlalu.

“Iyaa.”

Dia mendorong pintu ruang tengah hingga terbuka sepenuhnya dengan sebelah bahu. Lampunya menyala, namun sunyi tak ada suara apapun. Matanya tertumbuk ke arah sofa panjang di depan televisi, seseorang bergelung nyaman terbalut selimut tebal. Perangkat PC istrinya yang dipindahkan dari ruang kerja memenuhi setengah permukaan meja kopi pendek, kabel-kabel berseliweran di atas karpet. Setengah permukaan meja sisanya tertutup gulungan besar kertas dan tumpukan buku tentang arsitektur dan desain.  Teko air berisi setengah dan gelas kosong terletak di samping meja.

Dia menggeser beberapa tumpukan buku, meletakkan nampannya. Helai-helai halus cokelat gelap menyembul dari balik selimut yang naik-turun seiring irama napas. Dia duduk melipat kaki di bawah sofa, mengerling profil wajah kelelahan istrinya yang lelap, mengelus anak-anak rambut di pelipisnya dengan sayang, menahan keinginan untuk mengecup keningnya karena tak ingin membangunkan sang istri yang terlelap.

Televisi dia nyalakan tanpa suara, menampilkan acara berita. Dia mulai makan.

Ada gerakan pelan yang ia rasakan dari belakang punggungnya. Menoleh sambil mulutnya masih mengunyah pai, mendapati istrinya perlahan bangun, mengucek mata.

“Pagi,” selorohnya, meski nyata-nyata display jam di sudut kiri bawah layar televisi menunjukkan pukul tujuh malam lewat beberapa menit, disambut wajah cemberut istrinya—yang tidak bertahan lama begitu mengendus aroma familiar dan mengenali isi piring dalam pangkuan sang suami.

“Mmm, pai Mrs. Anne’s?”

“Mm-hmm,” sahut si suami, menawarkan sesendok penuh yang langsung dilahap si istri. Dia memejamkan mata, menikmati rasa lezat pai seperti orang belum makan seminggu. Wanita itu merosot dari sofa, duduk di atas lantai berkarpet tebal di sebelah suaminya. Dengan masih tergulung dalam selimut, tangannya mengambil mangkuk stew dan mulai makan. Sang suami bergiliran menyuapkan pai untuk dirinya dan istrinya.

“Bagaimana pekerjaanmu?”

“Lumayan. Cukup untuk kupresentasikan di rapat dengan tim besok,” dia meringis. “Besok kau mengajar seharian?”

“Setengah hari, lalu belanja dengan Jess.”

Wanita itu mengerang. “Aku lupa kulkas sudah hampir kosong,” ujarnya dengan nada minta maaf. Si pria terkekeh, menepuk puncak kepala istrinya seolah itu masalah kecil.

“Mau kujemput lalu makan malam setelah kami selesai belanja besok?”

“Yeah, boleh.”

Keduanya meneruskan makan dalam hening. Dia menyuapi istrinya pai, si istri menyuapinya stew. Istrinya menaikkan volume suara televisi. Penyiar berita sedang membacakan liputan luar negeri.

Makan malam mereka habis tepat ketika liputan cuaca ditayangkan. Si wanita mengernyit, mengomentari tentang badai yang diperkirakan akan tiba beberapa hari lagi. Si pria menimpali akan berbelanja ekstra besok dan memeriksa penghalang badai serta saluran gas, listrik dan air akhir minggu ini untuk berjaga-jaga. Percakapan bergulir pada topik klien rewel yang tengah ditangani si wanita, persiapan masa ujian akhir semester di kampus si pria, lalu tentang tetangga tua yang tinggal di flat satu lantai di atas mereka, yang tempo hari membagi keju yang dibuatnya sendiri. Lalu si pria berdiri, membawa nampan berisi peralatan makan ke dapur. Putrinya masih di meja sarapan, masih menghadapi laptopnya, kali ini dengan wajah berkerut penuh konsentrasi. Kertas-kertas berisi coretan bertebaran di samping.

“Dad, aku nggak ngerti ini,” si gadis remaja tanggung mengeluh, pensilnya menunjuk pada deretan soal aljabar di layar. Si ayah menarik kursi mendekat, mengamati soal yang ditanyakan, mengambil selembar kertas dan pensil lain dan mulai menjelaskan. Lalu menghabiskan setidaknya tiga puluh menit berikutnya mengawasi anak gadisnya mengerjakan PR, hingga si gadis meyakinkan ayahnya kalau ia bisa mengerjakan sisanya sendiri. Si pria bangkit untuk menata piring dan mangkuk di mesin pencuci piring dan menyalakannya.

“Aku di ruang tengah kalau kau butuh bantuan lagi,” ujarnya. Anak gadisnya mengacungkan jempol.

Si pria menenteng sleeping bag yang ia keluarkan dari lemari penyimpanan setelah berganti baju, menggelarnya di atas lantai berkarpet tidak jauh dari istrinya yang tengah bekerja diiringi lagu-lagu The Who sambil sesekali ikut bernyanyi di bagian yang ia tahu. Televisi sudah dimatikan. Dia mengeluarkan laptop dari tas kerjanya, mulai memeriksa tugas para mahasiswanya sambil tengkurap di dalam sleeping bag. Lengan-lengan jarum jam dinding terus berputar. Lalu terdengar suara halus langkah kaki anak gadisnya pindah ke kamar.

Malam semakin larut. Si pria duduk dan meregangkan badan, mendapati istrinya sudah tertidur lagi di sofa dengan posisi tubuh tertekuk ganjil. Dia mendekat, membetulkan selimut istrinya, lalu mengecup dahinya penuh sayang. Istrinya bergerak-gerak meluruskan kaki, lalu kembali terlelap.

Dia mematikan laptopnya dan merangkak masuk ke dalam sleeping bag.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Utilizing Reference Functions in Microsoft Word



Hola. I wrote this entry specifically for my fellow classmates who are now struggling for our Research Methodology subject (Bless us, may we survive till the end…) and all of you who read this, to maximize the usage of your Microsoft Word. Because I myself never used any of those features till I have to write professional scientific report =))

We’ll start from Table of Contents. When you only have 5 pages paper, writing table of contents manually is still quite easy and updating the content and the page numbers are not really a bothersome. But how if your report is 100 pages? Go back and forth checking the page numbers each time you add one word? No, thank you, I’m not that patient. I might have already kicked my laptop screen before I’m done with 5 lines of table of contents :| So here’s on how we utilize Microsoft Word to do the job for us.

Before you start typing any letter in your document, set up your Styles first. Yeah, I mean the Styles over here:



Trust me, it’s way easier than have to change the font and size and such each time you alternate between typing contents and header. You know how the universal standard of font is Times New Roman 12pt and Word decided to be a hipster and choose Calibri 11pt? Here’s how to get Word to follow the universal standard:



  1. Right click each style you want to modify, and click Modify. Here are five important style that normally used: Normal style is for paragraph body, Heading 1 is for the big title on each chapter (e.g. Chapter 1: Introduction), Heading 2 is for first level of sub-heading (e.g. 1.1 Background), Heading 3 is for the second level of sub-heading (e.g. 3.3.1 [Insert the topic title here]), and Heading 4 is if you need to divide the second level of sub-heading into smaller group of topics. The rest are optional, if you think you will use any in your document, you may as well Modify it to your needs. If no, leave it be. 


2.      After you click Modify, the Modify Style window will pop up:



Set the font type and size to your needs. Usually, I set Times New Roman 12pt for the content, Times New Roman 14pt Bold for Heading 1, Times New Roman 12pt Bold for Heading 2 and 3, and Times New Roman 12pt Bold Italic for Heading 4. Then, to make it easier on setting the line spacing and such, click that Format box on the bottom right corner, and choose Paragraph. This window will pop up:

Here you can set the line spacing and paragraph spacing. You can use default setting for the paragraph spacing or adjust to your needs. Also, if the rules specified you have to set your first line of your paragraph indented (or as Indonesian called, ‘menjorok ke dalam’), you can set the Special option into First Line. When you’re done, click ok. Modify the rest of the styles that you will use for your document.
  
3.      When you’re done setting all the Styles, time to write down your report! Simply select the appropriate Styles when writing, e.g. select the Heading 1 then write your Chapter title, then Enter and when you’re going to write the paragraph contents, select Normal, and so forth, like this:

4.      Now to make Table of Contents. Don’t forget to leave one empty page in your document for Table of Contents page. You can insert this when you’re done typing your whole report or add it in the middle of your writing and keep updating it while writing, your choice. Write the Table of Contents title first using the Heading 1, and then insert the Table of Contents. Here’s how to do it:


Go to References, click Table of Contents, and select which style you like. You can also manually set your Table of Contents style by selecting Insert Table of Contents… then, this window will show up:

Adjust up to your needs. If you’re using built in Table of Contents, you’ll notice they will include the Table of Contents title, too, on the top of the table. Delete it, because we already have Table of Contents title written from Styles.

Now you have Table of Contents like this:


5.      When you want to update your Table of Contents, put your cursor anywhere inside the table so this box will show up:

Then click on Update Table. If you’re done having all entries in your Table of Contents and just need to make sure the page numbers are right after editing the paragraph contents, you can just Update page numbers only. Otherwise, if your Table of Contents is not complete yet, you can choose Update entire table. Click OK. Your Table of Contents will be updating itself.

Now we’re done with Table of Contents, don’t forget you also had to have Table of Figures and put Caption under each figure in your document. Here’s how to add Caption under each Figure:


Click the Insert Caption under References menu, then the Caption window will pop up. Add the text inside the Text Box, for example, Figure 1: Organizational Chart. Click OK.

Then to add Table of Figures, put your cursor on the new page after Table of Contents, write the Table of Figures title using Heading 1 style, and then click Insert Table of Figures. This window will pop up:



Adjust to your needs. Click OK after done. 

To update your Table of Figures, you can simply click the Update Table option under References menu (Beside the Insert Caption option, if you can’t find it). 

We’re done with the Table of Contents and Figure remark, now for the Citation and Bibliography. As we all know, the university is very strict about adding sources for any quotes we take from other sources. Because manually adds Bibliography and the Citation remark after each quote is a hassle, here’s how to get Word do it for us.

1.      Manage your source first. Under the References menu on Citations & Bibliography box, click Manage Sources. Then this window will pop up.



To add new source, click the New… option. This Create Source window will pop up:


Then add all the identities of each source. There are options whether your source is a book, a section from a book, a journal article, an article section from a periodical journal, a report, and many more (other people’s thesis and papers categorized as Report) choose according to your source type, and fill up all necessary boxes. If there are many Authors, you can click Edit beside the Author box, and fill up each author’s first and last name and click Add to add as many authors as needed. Click OK after done.

Don’t forget to set the Language option to English (UK or US, doesn’t matter) or foreign letters might appear in your Bibliography.

2.      To add Citation like this after each quote,


Do this after you type the quote:


Click Insert Citation under the References menu, and then select which source the quote is from. If you haven’t added the source, click the Add New Source and do the steps explained previously to add the sources.

3.      Now let’s move to the next step, which is adding Bibliography.


Click Bibliography under References menu, then choose the Bibliography style. You can also click Insert Bibliography and customized the style up to your needs. Later, the bibliography will be like this:


To update the Bibliography table, put your cursor anywhere inside the table to make the options shown, just like on how to update the Table of Contents. Then click Update Citations and Bibliography

Done. So that’s all about it. If you have more questions (in case I missed something), fire it up on the comments.

Oh, one thing, I still don’t know on how to make the page numbers on the Opening sections (Abstract, table of contents etc) and the contents section different. The only way I know is setting it on two different documents but it’s also quite a hassle. If anyone knows on how to make the page numbers different, please share!

Thank you for reading this long post!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jauh

Yang ini juga dapet prompt dari anak insomniaLover juga, 'jauh' dari Rica. Entah kenapa, pas lagi nulis scene dua karakter ini ga bisa diilangin dari kepala gue.... sampe gue delete draft awal trus ganti semua lolololol. Ini tentang karakter punya gue dulu di AH, Annabel Perdue, yang pernah didiskusiin ama Teki mau di-pair ama DE yang dia mainin, which is Augustus Rookwood. Oh, dan kita ngeplot mereka beda 10 tahun (Augustus being the older one, of course) (insert maniacal guy laugh here)

Timeline-nya ini AU, ga ngikut timeline aslinya =)) Gue tetiba aja pingin bikin timeline bagian kedua itu pas tahun 2005. Kenapa 2005? Silakan gugling aja 2005 di London ada apa muhahahahahah. Augustus Rookwood credit to JK Rowling, Annabel Perdue is an original character of mine.

Enjoy.

============================

Dia selalu suka pantai yang sepi di pagi hari. Pasir yang basah ketika diinjak, udara dingin berbau garam, ramai desiran ombak, sesekali disela para nelayan atau pengusaha penyewaan perahu meneriakkan perintah-perintah. Penjaga membuka pintu gedung pusat olahraga di atas dermaga. Pelari pagi yang membawa anjing Labrador besar, si anjing tampak terlalu gembira menggendusi pasir dan mengejar kepiting yang terdampar air pasang, menggonggong heboh saat ia melambaikan tangan. Pasangan muda yang tengah berjalan-jalan di ujung sana, kedua lengan mereka berayun-ayun mesra, tampak saling tergelak dan tertawa, meski ia tak bisa mendengar apapun dari tempatnya berdiri. Angin mempermainkan rambut pirangnya yang tebal mengombak, juga tepian gaun tipisnya. Ia melangkah kecil-kecil, hati-hati melompati pecahan-pecahan kulit kerang yang berserak terbawa pasang.

Seperti hari-hari sebelumnya, pria itu juga ada di sana. Duduk di tempatnya yang sama, diam, memandang sesuatu jauh di tengah laut yang tak bisa ia tebak apa. Tak pernah ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Dengan rambut panjang dan gelap terurai masai, mantel hitam panjang meski ini pantai di tengah musim panas, sosok sang pria yang tegap tak bergeming bagai karang di tengah laut, mau tak mau mengundang rasa kepenasarannya.

Father memutuskan mereka akan menghabiskan dua bulan musim panas di pondok kecil tepi pantai. Ini suatu perubahan, tentu. Sepanjang enam belas tahun hidupnya, tak pernah Father membawanya keluar dari Canterbury. Dia sudah begitu terbiasa memandangi petak langit yang sama dari jendela loteng yang sama, sama sekali tak tahu ada pantai kecil damai yang indah hanya satu jam dari rumahnya.

Tentu, menjelang siang, pantai kecil ini akan mulai penuh, oleh orang-orang yang bersantai sepanjang waktu makan siang, oleh anak-anak yang kebosanan tak punya hal lain yang dilakukan untuk mengisi masa liburan selain kembali menongkrongi pantai, oleh para turis dari kota lain yang jauh. Karenanya ia suka berjalan-jalan di pagi hari, saat ia bisa menikmati suara pagi tanpa terganggu oleh siapapun. Berjalan sedikit, terkadang mencari kulit kerang yang masih bagus, terkadang diendusi oleh si anjing yang selalu berlari setiap pagi dengan pemiliknya, lalu pulang pukul sepuluh untuk makan pagi bersama Father.

Belakangan, pria itu hadir, menambah detail baru dalam pigura suasana paginya. Awalnya dia hanya melirik si pria sekilas, penasaran dengan mantel hitam panjangnya yang masih saja dikenakan di musim panas. Si pria akan masih duduk di tempat yang sama ketika dia pulang ke pondok sewaan untuk makan pagi bersama Father, dan keesokan paginya, saat ia tiba, pria itu sudah lebih dulu duduk di sana. Seolah ia sama sekali tak pernah meninggalkan tempat itu untuk makan atau apapun.

Dipikir lagi, dia tak pernah melihat pria itu makan. Apa pria itu selalu tiba sebelum matahari terbit, lalu pergi untuk makan jauh setelah siang? Ia tak tahu, ia juga tak punya keberanian yang cukup untuk sekedar bertanya. Penduduk sekitar pun tampaknya telah begitu saja menerima keberadaan sosok tinggi gelap itu, sama sekali tak ada yang mengusik sesi duduk dan melamunnya. Tidak, sepertinya, malah pria itu yang tak acuh, membiarkan orang dan waktu bergulir di sekitarnya, berputar melewatinya.

Maka, ia pun mencoba untuk juga membiarkan sang pria tenggelam dalam aliran waktunya sendiri. Ia duduk memperhatikan debur ombak yang membuih, memperhatikan perahu para nelayan, hanya beberapa meter dari tempat si pria duduk. Lalu ia melambaikan tangan saat si anjing Labrador mendekat, lalu saling berkejar-kejaran, atau hanya duduk menggaruki perut si anjing, atau melemparkan tongkat untuk dikejar si anjing, seperti yang selalu dilakukannya untuk mengisi pagi, sejak ketika si pria belum ada di sana.

Mata mereka bertemu pandang, satu kali. Dia buru-buru menunduk hormat, ngeri dia telah mengganggu kedamaian si pria, lebih ngeri lagi bila dia mengamuk atau apa. Tapi tidak. Pria itu balas mengedik samar, lalu kembali memandangi batas cakrawala.

Dan hari-hari pun bergulir, dengan sepotong pagi selalu ia lewatkan bersama si pria, tanpa saling bertukar kata sepatahpun. Ia bermain, si pria akan duduk memandang laut. Ia duduk, mengamati siluet kokohnya, dengan punggung tegapnya, dengan mantel yang sama, dengan rambut hitam yang semakin panjang, selalu menempati tempat yang sama, seolah dipisahkan oleh selubung sunyi dengan dunia luar. Meski, belakangan, ia semakin sering menangkap pandangan si pria juga mengamatinya, dalam diam.

Dua bulan liburan musim panasnya bergulir sudah. Father memberitahunya saat ia membuka pintu pondok untuk jalan-jalan pagi, kalau sore ini mereka akan pulang kembali ke rumah mereka di Canterbury. Jangan terlalu lama di luar, katanya. Kita harus mengepak koper, begitu katanya lagi. Gadis kecil itu mengangguk, segera menyelinap keluar, tak ingin Father mengamati wajahnya lebih lama.

Dua bulan. Ia lupa. Ia lupa kalau ini bukan rumahnya, kalau ini hanya persinggahan sementara mereka selama musim panas, dan begitu Agustus berakhir, ia harus kembali ke sekolah, Father kembali untuk mengajar di universitas. Itu berarti dia harus meninggalkan rutinitas paginya menikmati pantai dan angin berbau garamnya, juga... sang pria bermantel hitam panjang. Rasanya... aneh. Mereka tak pernah saling bertukar kata. Ia bahkan tak tahu siapa namanya, dan kenapa pria itu selalu ada di tempat yang sama setiap hari. Namun, ada yang terasa menyentak, dan dadanya sakit, saat ia menyadari kalau ini hari terakhir dirinya bisa mengunjungi pantai, dan kembali mengamati si pria bermantel hitam panjang. Kaki-kaki mungilnya berderap semakin cepat, semakin cepat, sandalnya berkelepak-kelepak di atas aspal. Dia ingin segera tiba di pantai dan---

--Tidak ada. Pria itu tidak ada di sana. Terengah, sepasang matanya yang sebiru kaca menyisir pantai dengan panik, mencari-cari rambut panjang masai itu, mencari mantel itu. Ia bahkan berlari-lari kecil menyusuri pantai. Mencari-cari di dermaga. Melongoki setiap rumah makan yang buka di sepanjang jalan.

Tidak ada. Pria itu tidak ada di mana-mana. Kelelahan, ia kembali ke tempatnya yang biasa, menjatuhkan diri duduk. Napasnya naik-turun, dadanya sakit setelah berlari-lari, namun ada sesuatu yang lain yang juga menyentak dan menusuk. Ia tak mengira akan merasa sekehilangan ini saat tak menemukan sosok pria itu di tempatnya yang biasa. Ia menunggu, dan menunggu, terus menunggu si pria hingga Father menyusulnya karena mereka seharusnya tengah mengepak koper sekarang, namun pria itu tak pernah menampakkan diri sama sekali.

Rasanya, ada lubang besar yang tercipta seiring kakinya menjauhi pantai, selangkah demi selangkah.

*************

Dua tahun telah berlalu. Dia delapan belas sekarang, baru saja lulus dari sekolah putri berasrama tempatnya belajar di utara Skotlandia sana. Father menjemputnya di King's Cross tanggal tiga puluh satu Juni kemarin, lalu menawarinya untuk menginap seminggu dua minggu di London sebelum kembali ke rumah Canterbury mereka. Saat ia bertanya kenapa, Father hanya bergumam soal siapa tahu ia ingin berjalan-jalan keliling London, lalu kembali menguburkan kepalanya di balik tumpukan buku, tanpa sadar bergumam lebih keras soal keluhan akan bertemu kolega menyebalkan di konferensi mendatang. Bibir si gadis langsung mengerucut. Sudah jelas, Father akan disibukkan dengan konferensi atau apa dan dia akan ditinggalkan berjamur sendirian di kamar hotel.

"Baiklah, kau boleh jalan-jalan. TAPI cuma sekitar Central London. Dan HARUS sudah pulang ke hotel sebelum gelap," akhirnya Father menyerah, dan masih ditambah dengan serangkaian petuah mengenai tempat apa yang boleh dan tidak boleh ia datangi, apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Ia memang delapan belas, namun tubuhnya masih semungil bocah dua belas tahun, satu hal yang membuat Father selalu khawatir berlebihan membiarkannya bepergian sendirian. Namun ia menyambutnya gembira. Kapan lagi ia bisa menyusuri jalanan kota London sepuasnya, tanpa dibuntuti Father yang selalu menenggelamkan hidungnya ke dalam buku?

Ini hari kedelapannya di London. Setiap pagi, ia selalu membeli secangkir teh panas dan sekantung croissant, lalu duduk di Tavistock Square tak jauh dari hotelnya, menikmati sarapan sambil mengamati orang-orang berlalu lalang menuju kesibukan mereka masing-masing. Dia tengah pelan-pelan mengunyah croissant-nya sambil mengamati para turis yang mengantri di halte bus tak jauh dari bangku panjang tempatnya duduk, saat tiba-tiba geraknya terhenti.

Mantel itu. Sosok itu. Tak mungkin ia lupa, walau sudah dua tahun berlalu. Dengan rambut hitamnya yang panjang, sepasang mata yang menyorotkan kesendirian, punggung kokoh yang sama, bahu yang sama.

Sontak ia berdiri. Melupakan tehnya, melupakan croissant-nya. Kaki-kakinya berderap, sekuat tenaga berlari, memburu si pria yang dua tahun lalu selalu berbagi sepotong pagi yang sama dengannya.

Pria itu naik bus tingkat merah, naik setelah rombongan turis yang berisik dan sibuk mengambil foto bis sambil menanti giliran mereka naik. Dia berhenti, tak sempat mengejar bis yang keburu menutup pintu dan kembali bergerak maju, mendekatinya yang terengah-engah di trotoar. Putus asa, ia menjulurkan leher saat bis tingkat merah itu melewatinya, berusaha mencari sosok pria bermantel hitam panjang.

Lagi, setelah dua tahun berlalu, tatapan mereka saling beradu. Ia bisa melihat ada keterkejutan yang nyata, membayang di sepasang bola mata kelam sang pria bermantel hitam. Di sepersekian detik tatapan mereka beradu ketika bis melewatinya, mulut si pria membentuk sesuatu.

'Lari.'

Terdengar ledakan keras, memekakkan telinga. Ban berdecit, pecahan kaca dan logam beterbangan, bunga api membuncah, teriakan-teriakan ketakutan. Ia sendiri pun menjerit, hal terakhir yang dia ingat selain potongan logam merah terbang mendekatinya, lalu semuanya gelap.

Sunyi.

Basah. Ada yang basah. Menggenang. Merah.

=TAMAT=

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS