Template Mouth-watering Sprites by EZwpthemes from bTemplates. Powered by Blogger.
RSS

[OriFic] Chronicle of [masih cari kata yang pas] Intro

Awalnya diinspirasi mimpi epik saya beberapa waktu lalu (serius, itu epik parah. Udah lama ga mimpi epik DAN masih inget pas bangun makanya langsung gue twit. Ampe berapa puluh itu ya....) terus udah lama kepingin bikin universe fantasy tapi ga ada ide plot jadi yasudahlah dikawinin (....) Masih gatau mau dibawa kemana sih =)) Dijudulin apa aja gue gatau =))

================

Kaki-kaki mungil itu berderap, gesit menghindari gerumbulan semak dan pepohonan. Seketika mendadak berhenti, sepasang matanya yang sewarna madu tajam menyisiri sekeliling, sepasang bibir koralnya menyeringai kegirangan, lalu mendadak melesat lagi, cokelat rambut ikalnya serta hijau gaun berendanya mengelebat seperti bayangan, menuju gerumbulan perdu yang beberapa jengkal lebih tinggi darinya, berhenti di baliknya semendadak tadi. Dadanya naik-turun mengatur napas yang terengah, namun, kikik tertahan juga ikut terlepas.

<Kalau sambil sembunyi saja kau masih berisik begitu, pantas kau kalah terus tiap main petak umpet.>

Bibirnya mengatup seketika, mengerucut sebal. Ia mendongak menatap sepetak langit jernih di atas sana, mendelik pada apa yang ia tahu ada di sana meski tak terlihat oleh mata telanjangnya.

<Mana mungkin! Iona kan manusia biasa, bukan kamu yang mata sama telinganya super!>

Tawa renyah menggelegar. Kedengarannya seperti akan terdengar hingga batas desa, namun, gadis kecil itu tahu hanya ia yang bisa mendengarnya. Karena suara tawa si lawan bicara hanya tertuju padanya, dan berdering langsung di benaknya tanpa membentuk suara atau kata, seolah menyentuh benaknya untuk dapat langsung memahami apa yang lawan bicaranya sampaikan.

<Yah, kita lihat saja nanti.> Kata-kata itu bernada geli, semakin membuat si gadis kecil dongkol, dan semakin dongkol karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalasnya, karena, ia kan seharusnya diam-diam saja bersembunyi tanpa bergerak atau membuat suara? Kalau ia terlalu berkonsentrasi memilih apa yang tepat untuk dilontarkan pada benak lawan bicaranya, bisa-bisa ia menurunkan kewaspadaannya dan tanpa sadar meloncat berdiri, misalnya. Pokoknya ronde kali ini ia tak boleh kalah dari Iona! Menyebalkan sekali tiap bermain ia terlalu mudah ditemukan Iona. Giliran ia yang mencari pun, selalu berakhir dengan Ainra mengingatkan waktu bermain mereka sudah habis, atau Alastar berteriak-teriak berisik mencari mereka karena Iona dipanggil pulang sebelum dia berhasil menemukan Iona.

Ya bagaimana ia tidak bernapsu ingin menang.

“Mo~i~ra~”

Panggilan setengah-bernyanyi yang penuh kemenangan membuat si gadis kecil terperanjat, sontak membekap mulutnya meski sejak tadi ia sudah berhenti terkikik. Perlahan, ia mengintip dari sela-sela rerimbunan daun, berusaha menebak dari mana arah suara yang memanggilnya.

“Ketemu!”

“Kyaa!”

Moira si gadis kecil memekik terkejut saat tiba-tiba saja seseorang menghambur memeluknya dari belakang sambil tertawa-tawa girang, hingga mereka berdua terjatuh saling berguling. Keterkejutannya berangsur hilang, diganti dongkol yang lebih besar.

“Kenapa ketahuan terus siih?” Moira merajuk, meski ia tak berontak juga saat gadis yang lebih besar darinya itu membantunya bangun sambil masih saja merangkul pinggangnya. Terkekeh, si gadis berambut merah terang menepuk puncak kepalanya ringan. “Aku kan memang jago menemukan sesuatu. Kau saja yang masih ngotot ingin main.”

“Ainra tidak membantumu, kan?” kelopak mata Moira menyipit curiga.

<Sudah kubilang, kau saja yang payah main.> sebelum gadis berambut merah yang dipanggil Iona itu membalas, suara itu kembali bergema, namun kali ini di kepala keduanya alih-alih hanya Moira yang ‘mendengar.’ Kemudian, sesuatu berderu di atas kepala mereka, tiba-tiba saja angin kencang menerpa mereka, padahal semenjak tadi udara tenang tak bergerak. Perlahan, seolah seperti tengah meleleh dari selubung tak-tampak, sosok seekor naga dengan sisiknya yang biru kemilau muncul dari udara kosong. Tingginya baru sekitar dua kali tinggi si gadis yang lebih tua, tonjolan-tonjolan sirip di puncak kepala dan belakang lehernya belum runcing, moncongnya masih bulat halus, tertutupi pelindung kulit, sepasang tali kekang menjuntai, tersampir di lehernya. Sepasang mata tembaga itu mengerling Moira santai, melipat sayap-sayapnya.

“Tuh. Muncul saja baru sekarang. Bagaimana mungkin aku curang minta bantuan Ainra?” sebelah alis Iona terangkat memperjelas, kedua tangannya membantu Moira berdiri dan membersihkan guguran daun dan ranting yang tersangkut di gaun si gadis kecil.

Bibirnya terkatup rapat. Ia benci tampak kalah dan menurut dengan tidak membalas, tapi sayang sekali ia tidak punya sesuatu yang bagus untuk digunakan membalas.

<Orang bijak tahu kapan saatnya mundur, Moira. Kau ini keras kepala sekali.> Lagi, sang naga menyeletuk, seolah menyaksikan si gadis kecil ngotot meminta permainan diulang lagi dan lagi dan selalu kalah saja sudah melelahkan dirinya.

“Berisik,” gadis kecil itu mendelik.

“Pulang, yuk? Sebentar lagi waktu sarapan,” Iona menunjuk ke arah manornya yang terlihat di sela-sela pepohonan, menggamit jari-jari mungil Moira. “Susah nanti kalau Judith mengomel panjang lebar lagi.”

Moira mengerang ketika nama kepala pelayan di Manor keluarga Svenja itu disebut. Ia tidak suka wanita tua itu, matanya yang setajam burung nasar selalu saja bisa menemukan kesalahan pada apapun yang Moira lakukan. Ia juga sadar kalau sebenarnya kata-kata Iona barusan berarti ‘Mrs. Judith hanya akan mengomeli Moira dan berusaha menghukumnya tanpa Ayah dan Ibu tahu kalau lagi-lagi ia kedapatan membuat Lady Caitriona terlambat sarapan karena bermain di tepi hutan’, dan sadar kalau Iona tak ingin Mrs. Judith lagi-lagi mengomelinya.

<Moira,>

“Hn?” ia menoleh pada Ainra yang mengikuti mereka di belakang, mengernyit heran karena mendapati naga muda itu menatap lurus ke arah langit, ketegangan tampak jelas menguar.

<Alastar mencari kalian.>

Biasanya gadis itu hanya menggulirkan bola matanya malas, mengabaikan kakak laki-lakinya terus mencari tanpa berniat memberitahukan posisinya, seringkali setengah sebal karena kakaknya selalu sok tua dan sok menggurui, padahal mereka hanya berbeda usia empat tahun. Namun kali ini ia menangkap ketegangan di sepasang mata tembaga Ainra yang kini menatapnya lurus-lurus. Ia menghentikan langkah.

“Ainra? Ada apa?” Saat jemarinya meraih moncong Ainra yang kini tertunduk sejajar kepalanya, ia tersadar naga itu tengah gemetar. Ketegangan mencekam sang naga muda menjalar padanya, ia tahu karena mereka saling terhubung, meski ia tak tahu apa yang membuat Ainra seperti itu. <Ainra?> Ia berbisik melalui pikirannya, cemas karena Ainra yang tiba-tiba berubah.

<Levanth memberitahu barusan—>

<—Memberitahu apa?>

<Itu—> selaput mata Ainra menutup sesaat. <Alastar yang akan menjelaskan.> Kini ucapan-pikiran Ainra ditujukan pada mereka berdua. <Tunggu dia di sini.>

“Tunggu, ada apa? Ada sesuatu?” seolah baru menyadari ada sesuatu yang salah, Iona berbalik, mendekati Moira yang menggeleng-geleng kebingungan.

“Moira!”

Ketiganya mendongak, sepetak langit di atas kepala mereka menggelap, semakin lama semakin besar, deru kepak sayap yang tiga kali lebih lebar dari sayap Ainra terdengar semakin keras, disusul seekor naga bersisik kehijauan mendarat, seorang pemuda tanggung dengan raut keras meloncat dari punggungnya.

“Pulang! Sekarang!”

“Kau ini tidak sabaran! Ini juga mau pu—“

“Lady Caitriona,” pemuda itu tidak menggubris seruan sebal adiknya, mengulurkan tangan pada si gadis berambut merah, “Mari. Anda harus segera pulang. Saya dan Levanth akan mengantar Anda.”

“Alastar! Iona kan lagi jalan sama aku, jangan gitu dong!”

“MOIRA!”

Si gadis kecil tersentak. Ia belum pernah melihat raut kakaknya sekeras itu, kepanikan tampak tebal menggelayut. “Ainra, pulang dengan Moira secepat yang kau bisa.”

<Mengerti.> kepalanya si naga biru menandak-nandak, mengisyaratkan Moira untuk segera meloncat ke punggungnya. Gadis kecil itu masih berkeras tak mau beranjak.

“Alastar, ada apa ini?” mengejar langkah panjang-panjang si pemuda, Caitriona mendesak jawaban. Ketakutan merambati dirinya perlahan, sesuatu di belakang kepalanya mengatakan ada sesuatu yang terjadi di rumah. Setengah dirinya terlalu takut mendengar penjelasan Alastar, namun ia tahu tanpa alasan yang kuat Moira hanya akan menolak mentah-mentah untuk disuruh-suruh Alastar. Pemuda itu berhenti, menatapnya lurus-lurus. Seketika, Caitriona paham.

“Sesuatu terjadi pada Papa, kan?”

“Lady Caitriona…”

“Katakan sekarang, Alastar!”

Tenggorokan pemuda itu berdeguk. “Count Svenja—meninggal.”

“…bohong.”

Berita yang dibawa Alastar rupanya tidak hanya mengguncang putri satu-satunya Count Malte Svenja, tapi juga Moira. Gadis kecil itu membelalak, wajahnya pucat.

“Kau bohong kan?”

“Simon menemukan jenazahnya di dekat kebun anggur,” Alastar menggertakkan giginya. “Moira, tolong, jangan mempersulit. Pulang sekarang. Ayah yang memberi perintah.” Kata-kata pemuda itu sudah final.

Perjalanan pulang terasa mengambang bagi gadis kecil Moira. Ia tidak ingat Alastar membantunya naik ke punggung Ainra. Ia tidak ingat Alastar berkali-kali mengingatkan agar ia berpegangan erat-erat pada tali kekang. Angin yang menampar-nampar wajahnya seolah berasal dari tempat yang jauh.

Berkali-kali Alastar mengerling ke belakang, memastikan adiknya masih aman di atas punggung Ainra si naga muda. Kedua tangan Caitriona yang duduk di belakangnya memeluk pinggangnya erat.

“Bagaimana—bagaimana—“ kata-kata tercekat Caitriona mengambang.

<Levanth…>

<Nanti. Jangan beritahu sekarang.>

“Alastar. Beritahu aku sekarang!”

“My Lady—“

“Aku tahu Levanth pasti mencegahmu. Aku berhak tahu. Ini perintah!” meski begitu, kata-katanya tercekat. Alastar menggertakkan genggaman tali kekangnya.

<Levanth, tak bisakah…>

<Kami tak bisa memperlihatkan visual selain pada Penunggang. Kau tahu itu, Alastar.>

Tentu saja. Penunggang mana yang tidak mengetahui peraturan dasar hubungan Penunggang dan Naganya? Hanya saja, ia kesulitan bagaimana menyampaikan apa yang terjadi beberapa saat lalu di Manor Svenja pada Lady Caitriona. Semuanya terlalu bertumpuk, terlalu kejam, terlalu tiba-tiba. Apa Lady Caitriona bisa menerimanya?

<Katakan apa yang seharusnya kau katakan. Cepat atau lambat dia harus segera tahu.>

Jujur saja, memberi tahu kabar buruk bukanlah hobinya sama sekali.

“Count Svenja dibunuh.”

Sepasang tangan ramping itu gemetar. Punggung Alastar basah.

Ia yakin gadis itu pun paham apa makna kejadian ini. Hari-hari damai mereka telah berakhir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

[Adaptation] Ibu

Ini cerpen ditulis buat salah satu lomba beberapa bulan lalu. Sayangnya ga menang #sedih Yaudah dipost disini ajah daripada ga ada yang baca :| *yalopeker blog ini bakalan ada yang baca gitu* Judulnya Ibu. Biasa, webe judul :|


=============================

Ibu

Detak-detak gagang kayu yang saling beradu mulai samar-samar membelai telingaku. Suaramu berkutat dengan alat tenunmu, tak kusangka aku masih bisa mengingatnya seolah baru kemarin aku mendengarnya terakhir kali, alih-alih bertahun lalu. Kulihat sekeliling, ke jalan setapak yang dulu kita buat bersama-sama dari kerikil yang kuambil di sungai, kini banyak dari kerikilnya hilang atau berantakan, mungkin teracak hewan liar. Tanaman jarak dan randu yang memagari tepiannya, kini sebagian berwujud tunggul-tunggul tebal dengan tunas-tunas ringkih memenuhi bekas penggalan dahan, sebagian dibiarkan tumbuh tinggi merimbun. Dari sela-sela ranting yang saling berjalin, aku mengintip petak-petak yang dulu kautanami mawar hutan, dan sedap malam, dan rumpun melati. Lalu kebun sayuran. Petak ubi dan labu. Pohon pisang dan mangga.

Dan pondok kayu kecil yang berdiri di tengah-tengah.

Seketika terasa sesuatu menusuk dadaku, melihat pondok kecil itu seolah tengah berjuang hanya untuk bisa berdiri. Beberapa bagian yang tampak jelas lapuk termakan cuaca, dinding yang disangga secukupnya dengan batang kasar. Ibu, kau tinggal sendirian selama ini, setelah kepergianku. Tentulah tak ada lagi yang membantumu mengganti kayu dinding yang lapuk, atau memperbaiki atap. Lalu bagaimana dengan berburu, apakah Ibu masih menikmati daging menjangan atau babi hutan sepeninggalku? Atau Ibu hanya memuaskan diri dengan ikan-ikan yang ditangkap di sungai sebelah barat?

Detak mesin tenun terdengar semakin keras, bersamaan dengan mendekatnya langkahku. Sosok si penenun yang duduk melipat kaki membelakangiku di pelataran depan pondok tampak semakin jelas. Aku mengenali rambut panjangmu, yang tebal dan sehitam arang. Aku menarik napas, mengingat-ingat bagaimana rambutmu terasa sangat halus dalam genggamanku, bagaimana helai-helainya terkadang jatuh ke wajahku saat kau menidurkanku, bagaimana wanginya seolah ikut mengantarku ke kedamaian dalam lelap. Tentulah kau masih rutin mencuci rambutmu dengan air bunga, melihat bagaimana petak bunga di sebelah pondok masih terawat dengan baik. Aku mendesah tanpa suara. Berteriak dalam hati agar kau menoleh, memperlihatkan padaku wajahmu yang selama tahun-tahun belakangan hanya bisa kutemui dalam mimpi. Berharap kau bersuara, mengobati kerinduanku akan dering merdu suaramu.

Ada ranting kering yang tak sengaja kuinjak. Terperanjat, kau menghentikan gerak tanganmu, kepalamu terjulur mencari-cari arah suara.

Sepasang mata kelam itu akhirnya bersirobok dengan tatapanku. Kulihat ada sinar terkejut di sana, dan juga sepercik kebingungan, namun sama sekali tidak menghalangi kecantikanmu. Ah, paras itu, paras yang selama bertahun-tahun mati-matian kuperjuangkan dalam ingatanku, tanpa sedikitpun sudi melupakannya. Satu-satunya wanita yang kupuja, kini menatapku, dengan sepasang mata kelamnya yang masih sama, pipinya yang masih merona segar, bibirnya yang kemerahan, bak gadis yang baru saja mengucap selamat tinggal pada usia remajanya. Aku melangkah satu-satu, semakin memperpendek jarak di antara kami. Apakah selama kepergianku, tak ada seorangpun yang pernah berpapasan dengan Ibu, atau sekedar mampir demi beristirahat dalam perjalanan? Apakah karena itu Ibu terlihat bingung dan terkejut? Aku menarik senyum, menatapnya dengan pandangan menenangkan.

“Selamat siang.”

“Selamat siang. Kisanak siapa?”

“Hanya seorang pengembara dalam perjalanannya. Sudikah kiranya Nyisanak membagi saya barang segelas air? Saya sudah berjalan semenjak matahari terbit tadi, kantung air saya sudah kembali kosong.”

Ibu, setelah bertahun-tahun lalu engkau mengusirku pergi, akhirnya aku bisa menemukan jalan kembali ke rumah ini. Jalan kembali padamu. Kuakui, apa yang kulakukan dulu itu bukanlah langkah pintar. Aku terlalu terburu-buru dalam memenuhi tujuanku. Yah, lagipula, strategi pintar macam apa yang bisa diharapkan dari seorang bocah hutan yang hanya mengenal busur dan parang?

Anjing itu sangat dekat denganmu. Terlalu dekat. Dulu kupikir itu karena kau kesepian, karena hanya ada kau, anjing itu, dan aku, anakmu yang masih bocah dan belum mengerti apa-apa ini, tinggal seatap di pondok kayu di tengah hutan ini. Aku tak bisa melihatmu mengisi hari dengan tatapan merindu pada sesuatu yang tak bisa kulihat, karenanya, aku selalu menuruti kata-katamu. Menggali berdepa-depa tanah untuk kautanami, agar kau tak perlu lagi berjalan jauh ke tengah hutan untuk sekedar mencari makanan setiap harinya, atau bunga-bungaan untuk mencuci rambutmu. Bolak balik mengangkuti kerikil dan bebatuan dari tepi sungai untuk jalan setapak menuju rumah atau mengganti batu pondasi. Aku belajar memanah dengan tekun darimu, agar aku bisa membawakanmu daging setiap kali kau ingin, mungkin burung liar, mungkin luwak, mungkin juga menjangan kalau aku tengah beruntung.

Aku ingin menghabiskan setiap detik milikku hanya berada di sisimu. Melihat senyummu.

Ya, kau tersenyum. Kau menepuk kepalaku, memujiku anak baik dan penurut, berkata aku akan tumbuh jadi pemuda yang kuat. Aku puas. Aku bangga. Kupikir dengan menjadi anakmu yang penurut, aku bisa menghapus kesepianmu.

Ternyata, tidak. Kau masih memandangi si anjing dengan tatapan penuh damba. Kau masih menghabiskan malam-malam saat kau kira aku telah terlelap, untuk duduk di pelataran depan dengannya, berbincang mengenai segala hal, meski ia hanya bisa menanggapi dengan bisu, mungkin satu-dua gonggongan. Sempat aku memeras otak, tidak habis pikir kenapa Ibu lebih menyayanginya daripada diriku. Memberikan cintamu padanya, alih-alih padaku. Kenapa dan kenapa terus menerus berputar di benakku. Kenapa? Bukankah aku anakmu, satu-satunya yang kau punya, sementara dia hanyalah anjing pemburu belaka?

Barulah, di satu malam ketika bulan tengah penuh, berkilau kekuningan tepat di atas kepala, aku mengerti semuanya. Anjing itu bukan hanya sekedar anjing pemburu untukmu. Ia… ia lebih dari itu untukmu. (Aku muak mengakui kalau ia segalanya untukmu).

Jelaslah, selama ia ada, aku tak akan pernah menjadi yang satu-satunya di matamu. Aku hanya akan selalu jadi bocah, anakmu yang kaubilang kau banggakan, yang selalu sigap melakukan apa saja untukmu, tapi hanya itu. Satu-satunya yang bisa seorang bocah laki-laki pikirkan demi mendapatkanmu seutuhnya, hanyalah dengan menyingkirkannya.

Ibu, bertahun-tahun telah berlalu. Kau pasti sudah melupakan anjing itu, kan? Juga melupakan bagaimana sosok anak laki-lakimu yang dulu kau usir dalam amarahmu. Aku telah tumbuh, Bu. Aku bukan lagi bocah kecil kurus dengan rambut terbakar matahari dan suara melengking. Sekali melihat tatapan menyelidikmu, aku tahu, kau sama sekali tak mengenaliku. Tapi, apakah kau pikir aku akan sanggup melupakanmu, satu-satunya yang membuatku bertahan hidup selama dalam pengembaraan? Apakah menurutmu aku akan melupakan rumah ini, rumah tempat aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku, yang tanah kebunnya kucangkul sendiri, yang jalan setapaknya kubangun sendiri?

Kau tersenyum. Masih senyummu yang dulu, yang manis, yang ramah, yang seolah membuat wajahmu diberkahi cahaya para dewi. Namun kali ini, senyummu juga terasa asing.

“Masuklah,” akhirnya kau berkata, meletakkan tenunan setengah jadimu, berdiri mendekatiku. “Kisanak pasti lelah setelah perjalanan jauh. Bagaimana kalau Kisanak juga makan barang sesuap dua bersama saya?”

Aku menampakkan wajah terkejut, sontak menggeleng untuk menolak kebaikannya. “Tabu bagi seorang pria meminta ransum seorang wanita, Nyisanak. Segelas air saja sudah cukup.”

“Kisanak tidak meminta, saya yang menawarkan,” kau kembali mendesak, mengulurkan tanganmu, seolah hendak menarikku naik ke pelataran papan saat itu juga. “Sudah lama sekali tidak ada yang berpapasan di jalan ini, anggaplah Kisanak menemani saya menikmati makan.”

“Kalau begitu,” aku masih menampakkan raut ragu-ragu. Kau menyukai pria yang sopan, bukan? Itu yang selalu kau ajarkan dulu padaku, mendidikku jadi seorang ksatria yang tahu bagaimana bersikap dan beradat. “Izinkanlah saya menebusnya dengan memperbaiki pondok Nyisanak ini. Seorang wanita sebaik dan secantik Nyisanak tidak pantas tinggal di tempat dengan atap hampir roboh seperti ini.”

Pipimu bersemu seiring senyummu yang semakin lebar. Ibu, apa kau bahagia, pada akhirnya ada yang bisa membantumu memperlayak pondok ini? Apa kau bahagia, pada akhirnya hari-harimu tak akan lagi sepi?

“Kisanak bisa lihat sendiri, memperbaiki pondok ini perlu waktu yang tidak sebentar.”

“Tidak apa. Saya pengembara, tujuan saya adalah ke mana kaki saya membawa. Bila hari ini kaki saya membawa saya ke pondok Nyisanak, baiknya saya lakukan apa yang saya bisa untuk membantu.”

“Kalau begitu, tidak pantas jika saya hanya memberi Kisanak sekali makan saja. Masuklah,” kau kembali tersenyum, melangkah mundur mempersilakanku naik ke undakan, mengisyarakan untuk aku duduk di pelataran. Kutatap punggungmu yang menjauh, menghilang di ambang pintu, samar-samar bisa kucium aroma rambutmu, awalnya pekat dan dekat, kemudian menjauh. Suara-suara berikutnya memberitahuku kau tengah menyiapkan sesuatu di belakang. Aku duduk bersandar pada selasar. Menerawang jauh. Menyegarkan kembali ingatanku akan sosokmu, akan senyummu, akan dering merdu suaramu, akan wangi tubuhmu.

Ibu, aku pulang.

Kali ini, untuk memilikimu seutuhnya. Selamanya.

SELESAI


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Halow

Yagitudeh. Terkadang mau meracau di twitter, 140 karakter itu ga cukup bow :| Memang sudah saatnya ganti blog *sokbijak* tapi gue mutung sama Tumblr ah, dashboard barunya ga ramah koneksi :| *ato browser guenya yang sinting entah deh*


... Ya pokoknya 1st post ini entaran bakalan diedit ama yang lebih classy dan keren deh. Kaloniat :|

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS