Ini cerpen ditulis buat salah satu lomba beberapa bulan lalu. Sayangnya ga menang #sedih Yaudah dipost disini ajah daripada ga ada yang baca :| *yalopeker blog ini bakalan ada yang baca gitu* Judulnya Ibu. Biasa, webe judul :|
=============================
Ibu
Detak-detak gagang kayu yang saling beradu mulai samar-samar
membelai telingaku. Suaramu berkutat dengan alat tenunmu, tak kusangka aku
masih bisa mengingatnya seolah baru kemarin aku mendengarnya terakhir kali,
alih-alih bertahun lalu. Kulihat sekeliling, ke jalan setapak yang dulu kita
buat bersama-sama dari kerikil yang kuambil di sungai, kini banyak dari
kerikilnya hilang atau berantakan, mungkin teracak hewan liar. Tanaman jarak
dan randu yang memagari tepiannya, kini sebagian berwujud tunggul-tunggul tebal
dengan tunas-tunas ringkih memenuhi bekas penggalan dahan, sebagian dibiarkan
tumbuh tinggi merimbun. Dari sela-sela ranting yang saling berjalin, aku
mengintip petak-petak yang dulu kautanami mawar hutan, dan sedap malam, dan
rumpun melati. Lalu kebun sayuran. Petak ubi dan labu. Pohon pisang dan mangga.
Dan pondok kayu kecil yang berdiri di tengah-tengah.
Seketika terasa sesuatu menusuk dadaku, melihat pondok kecil
itu seolah tengah berjuang hanya untuk bisa berdiri. Beberapa bagian yang tampak
jelas lapuk termakan cuaca, dinding yang disangga secukupnya dengan batang
kasar. Ibu, kau tinggal sendirian selama ini, setelah kepergianku. Tentulah tak
ada lagi yang membantumu mengganti kayu dinding yang lapuk, atau memperbaiki
atap. Lalu bagaimana dengan berburu, apakah Ibu masih menikmati daging
menjangan atau babi hutan sepeninggalku? Atau Ibu hanya memuaskan diri dengan
ikan-ikan yang ditangkap di sungai sebelah barat?
Detak mesin tenun terdengar semakin keras, bersamaan dengan
mendekatnya langkahku. Sosok si penenun yang duduk melipat kaki membelakangiku
di pelataran depan pondok tampak semakin jelas. Aku mengenali rambut panjangmu,
yang tebal dan sehitam arang. Aku menarik napas, mengingat-ingat bagaimana
rambutmu terasa sangat halus dalam genggamanku, bagaimana helai-helainya
terkadang jatuh ke wajahku saat kau menidurkanku, bagaimana wanginya seolah
ikut mengantarku ke kedamaian dalam lelap. Tentulah kau masih rutin mencuci
rambutmu dengan air bunga, melihat bagaimana petak bunga di sebelah pondok
masih terawat dengan baik. Aku mendesah tanpa suara. Berteriak dalam hati agar
kau menoleh, memperlihatkan padaku wajahmu yang selama tahun-tahun belakangan
hanya bisa kutemui dalam mimpi. Berharap kau bersuara, mengobati kerinduanku
akan dering merdu suaramu.
Ada ranting kering yang tak sengaja kuinjak. Terperanjat, kau
menghentikan gerak tanganmu, kepalamu terjulur mencari-cari arah suara.
Sepasang mata kelam itu akhirnya bersirobok dengan tatapanku.
Kulihat ada sinar terkejut di sana, dan juga sepercik kebingungan, namun sama
sekali tidak menghalangi kecantikanmu. Ah, paras itu, paras yang selama
bertahun-tahun mati-matian kuperjuangkan dalam ingatanku, tanpa sedikitpun sudi
melupakannya. Satu-satunya wanita yang kupuja, kini menatapku, dengan sepasang
mata kelamnya yang masih sama, pipinya yang masih merona segar, bibirnya yang
kemerahan, bak gadis yang baru saja mengucap selamat tinggal pada usia
remajanya. Aku melangkah satu-satu, semakin memperpendek jarak di antara kami.
Apakah selama kepergianku, tak ada seorangpun yang pernah berpapasan dengan
Ibu, atau sekedar mampir demi beristirahat dalam perjalanan? Apakah karena itu
Ibu terlihat bingung dan terkejut? Aku menarik senyum, menatapnya dengan
pandangan menenangkan.
“Selamat siang.”
“Selamat siang. Kisanak siapa?”
“Hanya seorang pengembara dalam perjalanannya. Sudikah
kiranya Nyisanak membagi saya barang segelas air? Saya sudah berjalan semenjak
matahari terbit tadi, kantung air saya sudah kembali kosong.”
Ibu, setelah bertahun-tahun lalu engkau mengusirku pergi,
akhirnya aku bisa menemukan jalan kembali ke rumah ini. Jalan kembali padamu.
Kuakui, apa yang kulakukan dulu itu bukanlah langkah pintar. Aku terlalu
terburu-buru dalam memenuhi tujuanku. Yah, lagipula, strategi pintar macam apa
yang bisa diharapkan dari seorang bocah hutan yang hanya mengenal busur dan
parang?
Anjing itu sangat dekat denganmu. Terlalu dekat. Dulu kupikir itu karena kau kesepian, karena hanya
ada kau, anjing itu, dan aku, anakmu yang masih bocah dan belum mengerti
apa-apa ini, tinggal seatap di pondok kayu di tengah hutan ini. Aku tak bisa
melihatmu mengisi hari dengan tatapan merindu pada sesuatu yang tak bisa
kulihat, karenanya, aku selalu menuruti kata-katamu. Menggali berdepa-depa tanah
untuk kautanami, agar kau tak perlu lagi berjalan jauh ke tengah hutan untuk
sekedar mencari makanan setiap harinya, atau bunga-bungaan untuk mencuci rambutmu.
Bolak balik mengangkuti kerikil dan bebatuan dari tepi sungai untuk jalan
setapak menuju rumah atau mengganti batu pondasi. Aku belajar memanah dengan
tekun darimu, agar aku bisa membawakanmu daging setiap kali kau ingin, mungkin
burung liar, mungkin luwak, mungkin juga menjangan kalau aku tengah beruntung.
Aku ingin menghabiskan setiap detik milikku hanya berada di
sisimu. Melihat senyummu.
Ya, kau tersenyum. Kau menepuk kepalaku, memujiku anak baik
dan penurut, berkata aku akan tumbuh jadi pemuda yang kuat. Aku puas. Aku
bangga. Kupikir dengan menjadi anakmu yang penurut, aku bisa menghapus kesepianmu.
Ternyata, tidak. Kau masih memandangi si anjing dengan
tatapan penuh damba. Kau masih menghabiskan malam-malam saat kau kira aku telah
terlelap, untuk duduk di pelataran depan dengannya, berbincang mengenai segala
hal, meski ia hanya bisa menanggapi dengan bisu, mungkin satu-dua gonggongan. Sempat
aku memeras otak, tidak habis pikir kenapa Ibu lebih menyayanginya daripada
diriku. Memberikan cintamu padanya, alih-alih padaku. Kenapa dan kenapa terus
menerus berputar di benakku. Kenapa? Bukankah aku anakmu, satu-satunya yang kau
punya, sementara dia hanyalah anjing pemburu belaka?
Barulah, di satu malam ketika bulan tengah penuh, berkilau
kekuningan tepat di atas kepala, aku mengerti semuanya. Anjing itu bukan hanya
sekedar anjing pemburu untukmu. Ia… ia lebih dari itu untukmu. (Aku muak
mengakui kalau ia segalanya untukmu).
Jelaslah, selama ia ada, aku tak akan pernah menjadi yang
satu-satunya di matamu. Aku hanya akan selalu jadi bocah, anakmu yang kaubilang
kau banggakan, yang selalu sigap melakukan apa saja untukmu, tapi hanya itu.
Satu-satunya yang bisa seorang bocah laki-laki pikirkan demi mendapatkanmu
seutuhnya, hanyalah dengan menyingkirkannya.
Ibu, bertahun-tahun telah berlalu. Kau pasti sudah melupakan
anjing itu, kan? Juga melupakan bagaimana sosok anak laki-lakimu yang dulu kau
usir dalam amarahmu. Aku telah tumbuh, Bu. Aku bukan lagi bocah kecil kurus
dengan rambut terbakar matahari dan suara melengking. Sekali melihat tatapan
menyelidikmu, aku tahu, kau sama sekali tak mengenaliku. Tapi, apakah kau pikir
aku akan sanggup melupakanmu, satu-satunya yang membuatku bertahan hidup selama
dalam pengembaraan? Apakah menurutmu aku akan melupakan rumah ini, rumah tempat
aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku, yang tanah kebunnya kucangkul sendiri,
yang jalan setapaknya kubangun sendiri?
Kau tersenyum. Masih senyummu yang dulu, yang manis, yang
ramah, yang seolah membuat wajahmu diberkahi cahaya para dewi. Namun kali ini,
senyummu juga terasa asing.
“Masuklah,” akhirnya kau berkata, meletakkan tenunan setengah
jadimu, berdiri mendekatiku. “Kisanak pasti lelah setelah perjalanan jauh.
Bagaimana kalau Kisanak juga makan barang sesuap dua bersama saya?”
Aku menampakkan wajah terkejut, sontak menggeleng untuk
menolak kebaikannya. “Tabu bagi seorang pria meminta ransum seorang wanita,
Nyisanak. Segelas air saja sudah cukup.”
“Kisanak tidak meminta, saya yang menawarkan,” kau kembali
mendesak, mengulurkan tanganmu, seolah hendak menarikku naik ke pelataran papan
saat itu juga. “Sudah lama sekali tidak ada yang berpapasan di jalan ini,
anggaplah Kisanak menemani saya menikmati makan.”
“Kalau begitu,” aku masih menampakkan raut ragu-ragu. Kau
menyukai pria yang sopan, bukan? Itu yang selalu kau ajarkan dulu padaku,
mendidikku jadi seorang ksatria yang tahu bagaimana bersikap dan beradat. “Izinkanlah
saya menebusnya dengan memperbaiki pondok Nyisanak ini. Seorang wanita sebaik
dan secantik Nyisanak tidak pantas tinggal di tempat dengan atap hampir roboh
seperti ini.”
Pipimu bersemu seiring senyummu yang semakin lebar. Ibu, apa
kau bahagia, pada akhirnya ada yang bisa membantumu memperlayak pondok ini? Apa
kau bahagia, pada akhirnya hari-harimu tak akan lagi sepi?
“Kisanak bisa lihat sendiri, memperbaiki pondok ini perlu
waktu yang tidak sebentar.”
“Tidak apa. Saya pengembara, tujuan saya adalah ke mana kaki
saya membawa. Bila hari ini kaki saya membawa saya ke pondok Nyisanak, baiknya
saya lakukan apa yang saya bisa untuk membantu.”
“Kalau begitu, tidak pantas jika saya hanya memberi Kisanak
sekali makan saja. Masuklah,” kau kembali tersenyum, melangkah mundur
mempersilakanku naik ke undakan, mengisyarakan untuk aku duduk di pelataran.
Kutatap punggungmu yang menjauh, menghilang di ambang pintu, samar-samar bisa
kucium aroma rambutmu, awalnya pekat dan dekat, kemudian menjauh. Suara-suara
berikutnya memberitahuku kau tengah menyiapkan sesuatu di belakang. Aku duduk
bersandar pada selasar. Menerawang jauh. Menyegarkan kembali ingatanku akan
sosokmu, akan senyummu, akan dering merdu suaramu, akan wangi tubuhmu.
Ibu, aku pulang.
Kali ini, untuk memilikimu seutuhnya. Selamanya.
SELESAI
0 comments:
Post a Comment