Template Mouth-watering Sprites by EZwpthemes from bTemplates. Powered by Blogger.
RSS

[OriFic] Untitled


Pukul empat pagi. Tidak, aku sama sekali tidak repot-repot bergerak untuk mengecek waktu dari layar telepon genggamku yang semalam kuletakkan di sebelah bantal, atau tampilan angka digital menyala-dalam-gelap jam alarm di atas meja samping tempat tidur. Aku tahu sekarang pukul empat karena kudengar pintu kamar mandi tengah dibuka.

Dua-tiga malam sekali, teman sekamarku akan bangun pukul empat pagi dengan patuh tanpa alarm, mengendap-endap macam maling sambil membawa telepon genggamnya, lalu mengurung diri di kamar mandi. Aku baru menyadari kebiasaannya itu beberapa bulan lalu, di satu Minggu dini hari ketika aku baru pulang beberapa menit sebelum pukul empat dalam keadaan sadar, hanya mengantuk luar biasa (ditarik segerombolan temanku ikut mereka ke bar, tidak tahunya cuma untuk jadi supir untuk pulang. Sialan. Tahu begitu aku diam di kamar saja. Menyulam, mungkin. Atau kalau sudah bosan luar biasa, menggarap tugas-tugas esaiku). Menelepon pacar, katanya (ah, jadi dia sudah punya pacar. Pantas tak pernah mengiyakan ajakan kencan siapapun). Kenapa harus pukul empat, kataku. Pacarnya di negara lain dengan perbedaan waktu yang besar, katanya (oke, ini menjelaskan kenapa aku tak pernah melihat dia dengan seseorang yang pantas disebut pacar). Saat kuungkapkan keherananku kenapa sebelumnya aku tak pernah sadar akan kebiasaannya ini, dia hanya terkekeh kecil, berkata tak ingin mengganggu tidurku, makanya selalu menelepon di kamar mandi.

“Tapi—pukul empat pagi! Tanpa alarm, dan kau masih bisa bangun tepat pukul empat pagi?!” setengah takjub setengah heran, mungkin, aku saat itu. Atau harga diriku sedikit tersentil karena mendapati teman sekamarku begitu mudah bangun di jam-jam aneh, sementara aku perlu perjuangan besar menghadiri kelas-kelas pagiku. (Setengahnya gagal, tentu saja. Setengahnya lagi diisi dengan meneruskan tidurku di dalam kelas). Lagi, dia hanya tertawa kecil, mengedikkan bahu, dan berlalu. (aku tidak mengerti bagaimana caranya dia membuat matanya tampak lebih bercahaya setiap kali tertawa, atau bagaimana bisa dia punya suara tawa sejernih itu. Kebanyakan anak perempuan yang kukenal suara tawanya mengesalkan. Suara tawaku sendiri jelek, makanya aku jarang tertawa. Mungkin itu yang membuat hampir setengah laki-laki di angkatan kami bertekuk lutut di hadapannya).

Tiba-tiba saja, aku menyadari kalau bisa jadi hanya aku satu-satunya yang tahu seloyal apa teman sekamarku ini. Setengah anak perempuan di angkatanku bergosip dia terlalu ‘mahal’ untuk dibeli hanya dengan bunga atau ajakan makan malam di restoran murah, setengah lagi mengutuknya, mengatainya perempuan tak tahu diuntung (kurasa yang bilang begini cuma mereka-mereka yang tak pernah dapat ajakan kencan dari siapapun seumur hidup). Maksudku, ayolah, bangun pukul empat demi menelepon, apakah itu bukan suatu dedikasi tinggi? Saking gemasnya, pernah aku tanya kenapa hanya dia yang harus bangun pukul empat hanya untuk berbicara di telepon dengan pacarnya. Apa pacarnya tak pernah melakukan hal yang sama?

“Pernah, kok. Kebetulan saja tak pernah selagi aku sedang bersamamu,” jawabnya. Entah kenapa aku merasa dia menjawab begitu hanya untuk membuatku diam. Baiklah, kalau begitu. Aku menangkap pesannya. Sejak itu, tidak lagi aku bertanya-tanya tentang kebiasaannya ataupun tentang pacarnya.

Namun rupanya kepenasaranku tak bisa hilang begitu saja. Awalnya hanya sedikit membuka mata saat mendengar pegangan pintu kamar mandi diputar, atau suara mengumpat tertahannya saat ia terserimpet selimutnya sendiri, dan aku kembali tertidur lagi secepat bayi, seringkali lupa saat pagi harinya apakah aku memang bangun atau itu hanya mimpi.

Lama-lama, aku sepenuhnya ikut terjaga saat dia bangun. Terjaga saja, hanya terbaring diam di bawah selimut, menghitung dalam hati berapa lama waktu yang dia habiskan untuk menelepon. Aku jadi tahu kalau terkadang, pacarnya mungkin batal menelepon, karena dia kembali ke tempat tidur tidak sampai sepuluh menit, menghempaskan badannya dengan kasar. Karena jika dia mengurung diri setengah hingga satu jam, keluar mengendap-endap sama sunyinya, kembali tidur dengan patuh hingga pukul tujuh alarm kami berteriak nyaring, dia membangunkanku yang masih tak bergerak di bawah selimut, dan senyum manisnya adalah hal pertama yang kulihat ketika membuka mata, itu artinya pembicaraan telepon mereka berjalan lancar.

Yah, atau setidaknya, biasanya dulu selalu begitu. Belakangan, dia mengurung diri semakin lama. Terkadang kudengar isak tanpa suaranya dari bawah selimut. Di pagi hari, sepasang mata cokelat madu yang biasanya bersinar riang itu suram, kelopaknya merah dan bengkak, hidungnya tak ada beda seperti hidung penderita flu berat. Lalu seharian itu dia akan luar biasa diam. Tak ada potongan-potongan senandung ketika dia memasak, tak ada musik mengalun ketika dia membantai semua tugasnya hingga larut malam. Dan aku semakin sering ikut terjaga pada pukul empat pagi. Diam-diam mendengarkan, walau sebenarnya tak ada sepotong kata pun yang bisa kudengar dari pembicaraan telepon mereka, entah pintu kamar mandi kami yang terlalu kedap suara atau dia memang bercakap-cakap dengan volume rendah.

Kamar kami semakin terang. Dan semakin terang. Dia belum juga keluar. Aku melirik jam alarm di meja samping tempat tidur. Pukul enam lima puluh. Aku sudah membuat janji dengan temanku untuk berkeliling di pusat kota sejak pagi-pagi sekali, mendatangi semua tempat yang menyediakan pekerjaan paruh waktu sebelum orang lain menyambar semua pekerjaan bagus. Itu artinya aku harus mandi sekarang juga (karena, mana ada yang mau mempekerjakan mahasiswa bau dengan mata mengantuk seolah habis tidak tidur tiga puluh enam jam?).

“Meg, kau di dalam?” aku mengetuk pelan. Pertanyaan bodoh sebenarnya, bukankah aku sendiri menyaksikan dia masih mengurung di dalam semenjak pukul empat? Lalu aku ingat Megan mungkin tak tahu aku juga selalu ikut bangun setiap pukul empat.

Tak ada jawaban. Aku menempelkan telinga ke pintu, mungkin dia tertidur setelah menerima telepon—hei, tak selamanya seseorang sanggup terjaga sepenuhnya bila harus bangun pukul empat pagi, kan?

Dia—menangis. Isakannya timbul-tenggelam, terdengar samar, tapi aku yakin dia tengah menangis.

“Meg?”

Sejujurnya, aku tak tahu apa yang harus kulakukan dalam situasi begini. Mana pernah sih aku berperan jadi seperti seorang ibu yang penuh perhatian dan mengucuri teman sekamarnya dengan kasih sayang? Satu-satunya hal nyata yang pernah kulakukan untuknya hanya ikut patungan tisu toilet.

Jadi jangan tanya kenapa aku mengaduk-aduk laci mejaku mencari kunci kamar mandi milikku (yang saking tak pernah digunakannya, terkubur di bawah kotak recehan) dan menerobos masuk.

Dia terkejut. Ya jelas saja. Sudah bagus dia tidak melemparkan botol sabun atau apa karena mengira aku penguntit mesum. Bibirnya mengatup dan membuka seperti ingin mengatakan sesuatu, namun menariknya kembali, berkali-kali. Matanya merah dan luar biasa bengkak. Ada tumpukan tisu bekas di sekitar kakinya.

“Kau di dalam terlalu lama,” ujarku. Dia mengerjap seolah baru sadar, menggumamkan permintaan maaf, lalu berdiri, namun tampak bingung, karena dia hanya terpaku beberapa saat. Aku menghela napas. Kugamit lengannya, kubawa dia ke depan wastafel, kubasuh bekas-bekas air mata itu. Lalu kugandeng dia keluar, kududukkan di atas tempat tidurnya. Masih tak ada yang mengatakan apa-apa di antara kami. Aku bingung harus mengatakan apa tanpa membuatnya terdengar seperti tengah meremehkannya yang lemah (karena kalau aku bicara, pasti kata-kata semacam itu yang keluar), dia mungkin terlalu terkejut dengan sikapku hingga tak bisa berkata-kata.

“Makasih,” pada akhirnya dia berbisik serak saat kusodorkan secangkir cokelat panas. Aku mengerling jam. Aku hanya punya sisa waktu amat singkat untuk mandi tergesa lalu membawa sepedaku ngebut ke pusat kota. Harusnya aku menyambar handuk, mungkin mengirimkan pesan singkat dulu pada temanku memberitahu aku akan sedikit terlambat. Tapi aku terpaku di sana.

“Kau makin sering nangis belakangan,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia menunduk, memutar-mutar cangkirnya.

“Mau menemaniku? Sebentar juga tidak apa-apa. Please.”

Di antara semua orang yang pernah berbagi tempat tinggal denganku, Meg yang paling tidak cerewet. Dia tak pernah memaksaku ikut ngumpul dengan teman-temannya. Tak pernah rewel soal area milikku yang seluruh lantainya tertutup tumpukan barang, padahal tempat tidur dan mejanya selalu rapi, seperti foto iklan desainer interior. Tak pernah menyentuh makananku tanpa aku harus melabelinya satu-satu di kulkas. Tak pernah mengorek-ngorek kehidupanku seperti para perempuan lain yang selalu merasa urusan semua orang adalah urusan mereka juga.

Maka, alih-alih tergesa bersiap untuk wawancara, aku duduk di kaki tempat tidurnya. Dia tersenyum. Senyumnya suram. Dipaksakan. Aku tidak suka.

“Aku tak pernah cerita soal pacarku, ya?”

Sebenarnya, mau dia cerita atau tidak pun, tak akan ada bedanya. Mungkin aku malah bersyukur dia tidak bercerita panjang lebar tentang hidupnya sejak awal, karena itu berarti aku juga tidak harus bercerita apa-apa, dan kami berdua tidak memiliki semacam kewajiban untuk menjadi terlalu dekat.

Aku tak tahu jawaban seperti apa yang dia harapkan, jadi aku hanya mengangguk lagi.

“Istri pacarku mengancam untuk bunuh diri.”

Kalau mengatakan saat itu tampangku seperti tengah melihat sapi bertelur, mungkin tidak berlebihan. Sementara aku tengah mengerja-ngerjap, berusaha mencerna kata-katanya, cerita Meg terus mengalir. Bahwa sebenarnya si pacar tidak tinggal di negeri yang jauh, melainkan kota sebelah yang hanya dua jam jauhnya. Pria itu bukanlah sesama pelajar, tapi seorang pengusaha menengah yang usianya hampir dua kali lipat usia Meg. Bahwa alasan pria itu menelepon Meg pukul empat pagi adalah demi menghindari kecurigaan sang istri yang tidur di kamar lain dan tak akan bangun meski alarm kebakaran dideringkan di samping telinganya. Namun ternyata, sang istri tidak senaif yang pria itu duga.

“Jadi, apa? Dia membatalkan janji cerainya, begitu saja membuangmu buat kembali ke balik ketiak istrinya, padahal dia sudah membuatmu kayak anjing, sepenuhnya dia yang memutuskan kapan akan menelepon atau bertemu denganmu?” kata-kataku terlalu kasar, baru kusadari saat sudah keluar, tapi Meg memaksakan senyum pahit. Dia mengedikkan bahunya.

“Begitulah.”

Aku jadi marah. Sangat marah. Mungkin marah karena Meg yang kukira gadis jenius dan cemerlang ternyata bisa diperdaya seseorang begitu saja. Mungkin marah pada pria pengecut yang cuma menjual kata-kata untuk menarik Meg. Mungkin juga… marah pada diriku sendiri.

“Kenapa nggak kau tinggalkan dia dari dulu?”

Tatapannya menerawang jauh. Sendu.

“Kenapa, ya…”

Mendadak aku punya keinginan mendesak untuk mencari pria itu dan menyeretnya untuk sujud meminta maaf pada Meg—well, mungkin setelah aku menghabisinya dulu sampai puas. Megan gadis baik, amat baik. Meski kami tidak begitu mengetahui kehidupan pribadi masing-masing (kurasa karena aku menguarkan aura ‘urusi urusan masing-masing kalau mau hidup damai’ sejak hari pertama) aku bisa tahu dia sangat baik. Aku tak pernah melihatnya menangis selain karena pacarnya ini.

Aku tak tahu kalau melihatnya menangis terus-terusan begini ternyata bisa membuatku sesakit dan semarah ini. Air matanya masih terus mengalir. Jemariku terulur, merapikan anak-anak rambutnya yang jatuh berantakan menutupi wajah, mengusap pipinya yang basah dan luar biasa merah. Halus.

Saat berikutnya yang kutahu, aku tengah mencecap bibirnya yang gemetar. Bibirnya yang ternyata amat lembut, yang ingin kembali kulihat merekah indah lagi dengan senyum manisnya.

“Jess…”

Tolol.

Umpatan dan rutukan membuncah deras begitu sorot kebingungannya tertangkap olehku. Tolol, sialan, tidak punya otak.

“Jangan nangis lagi.”

Lagi, hanya kata-kata tolol yang keluar. Yea, benar, seolah apa yang kulakukan tadi itu akan dengan ajaibnya membuat Megan melupakan semua masalahnya. Tolol. Bagaimana kalau dia malah menangis lagi?

“P—pokoknya—“ aku tak ingin melihatmu menderita seperti ini lagi. Jangan menangis lagi, please. Kalau pacarmu hanya bisa menyia-nyiakanmu, biar aku yang menjagamu. Biar aku yang menjaga senyummu.

Tapi tak ada satu pun dari kata-kata yang saling berkejaran dan berteriak di kepalaku itu lolos dari bibirku. Sepasang mata cokelat madu itu masih menatapku, rasanya seperti masih menuntut penjelasan, keterkejutannya belum juga hilang.

“Kubuatkan sarapan.” Canggung kualihkan pandang, berlalu menuju dapur mini kami di sudut lain kamar. Tertangkap ujung mataku, telepon genggamku tengah bergetar, terus-terusan, layarnya berkedip-kedip. Pasti temanku yang menelepon. Bisa kubayangkan ia tengah menghentak-hentakkan kaki kesal menungguku yang tak kunjung muncul. Ha, seolah aku masih bisa memusatkan pikiran pada hal semacam pekerjaan paruh waktu saja.

“Jess—“

Aku tahu Megan tengah berdiri tepat di belakangku. Tanganku menyibukkan diri mengocok telur.

“Jangan bilang apa-apa.” Karena begitu kami harus membahas apa yang telah terjadi, semuanya akan rusak. Gelembung ini akan pecah. Semuanya tak akan bisa jadi sama seperti sediakala lagi.

Sepasang lengan ramping itu melingkari pinggangku, dan berikutnya, kurasa berat tubuhnya bersender nyaman di punggungku. Hangat. Aku berhenti mengocok telur.

“Makasih. Sangat.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: