Yang ini juga dapet prompt dari anak insomniaLover juga, 'jauh' dari Rica. Entah kenapa, pas lagi nulis scene dua karakter ini ga bisa diilangin dari kepala gue.... sampe gue delete draft awal trus ganti semua lolololol. Ini tentang karakter punya gue dulu di AH, Annabel Perdue, yang pernah didiskusiin ama Teki mau di-pair ama DE yang dia mainin, which is Augustus Rookwood. Oh, dan kita ngeplot mereka beda 10 tahun (Augustus being the older one, of course) (insert maniacal guy laugh here)
Timeline-nya ini AU, ga ngikut timeline aslinya =)) Gue tetiba aja pingin bikin timeline bagian kedua itu pas tahun 2005. Kenapa 2005? Silakan gugling aja 2005 di London ada apa muhahahahahah. Augustus Rookwood credit to JK Rowling, Annabel Perdue is an original character of mine.
Enjoy.
============================
Dia selalu suka pantai yang sepi di pagi hari. Pasir yang basah
ketika diinjak, udara dingin berbau garam, ramai desiran ombak, sesekali
disela para nelayan atau pengusaha penyewaan perahu meneriakkan
perintah-perintah. Penjaga membuka pintu gedung pusat olahraga di atas
dermaga. Pelari pagi yang membawa anjing Labrador besar, si anjing
tampak terlalu gembira menggendusi pasir dan mengejar kepiting yang
terdampar air pasang, menggonggong heboh saat ia melambaikan tangan.
Pasangan muda yang tengah berjalan-jalan di ujung sana, kedua lengan
mereka berayun-ayun mesra, tampak saling tergelak dan tertawa, meski ia
tak bisa mendengar apapun dari tempatnya berdiri. Angin mempermainkan
rambut pirangnya yang tebal mengombak, juga tepian gaun tipisnya. Ia
melangkah kecil-kecil, hati-hati melompati pecahan-pecahan kulit kerang
yang berserak terbawa pasang.
Seperti hari-hari
sebelumnya, pria itu juga ada di sana. Duduk di tempatnya yang sama,
diam, memandang sesuatu jauh di tengah laut yang tak bisa ia tebak apa.
Tak pernah ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Dengan
rambut panjang dan gelap terurai masai, mantel hitam panjang meski ini
pantai di tengah musim panas, sosok sang pria yang tegap tak bergeming
bagai karang di tengah laut, mau tak mau mengundang rasa kepenasarannya.
Father
memutuskan mereka akan menghabiskan dua bulan musim panas di pondok
kecil tepi pantai. Ini suatu perubahan, tentu. Sepanjang enam belas
tahun hidupnya, tak pernah Father membawanya keluar dari Canterbury. Dia
sudah begitu terbiasa memandangi petak langit yang sama dari jendela
loteng yang sama, sama sekali tak tahu ada pantai kecil damai yang indah
hanya satu jam dari rumahnya.
Tentu, menjelang siang,
pantai kecil ini akan mulai penuh, oleh orang-orang yang bersantai
sepanjang waktu makan siang, oleh anak-anak yang kebosanan tak punya hal
lain yang dilakukan untuk mengisi masa liburan selain kembali
menongkrongi pantai, oleh para turis dari kota lain yang jauh. Karenanya
ia suka berjalan-jalan di pagi hari, saat ia bisa menikmati suara pagi
tanpa terganggu oleh siapapun. Berjalan sedikit, terkadang mencari kulit
kerang yang masih bagus, terkadang diendusi oleh si anjing yang selalu
berlari setiap pagi dengan pemiliknya, lalu pulang pukul sepuluh untuk
makan pagi bersama Father.
Belakangan, pria itu hadir,
menambah detail baru dalam pigura suasana paginya. Awalnya dia hanya
melirik si pria sekilas, penasaran dengan mantel hitam panjangnya yang
masih saja dikenakan di musim panas. Si pria akan masih duduk di tempat
yang sama ketika dia pulang ke pondok sewaan untuk makan pagi bersama
Father, dan keesokan paginya, saat ia tiba, pria itu sudah lebih dulu
duduk di sana. Seolah ia sama sekali tak pernah meninggalkan tempat itu
untuk makan atau apapun.
Dipikir lagi, dia tak pernah
melihat pria itu makan. Apa pria itu selalu tiba sebelum matahari
terbit, lalu pergi untuk makan jauh setelah siang? Ia tak tahu, ia juga
tak punya keberanian yang cukup untuk sekedar bertanya. Penduduk sekitar
pun tampaknya telah begitu saja menerima keberadaan sosok tinggi gelap
itu, sama sekali tak ada yang mengusik sesi duduk dan melamunnya. Tidak,
sepertinya, malah pria itu yang tak acuh, membiarkan orang dan waktu
bergulir di sekitarnya, berputar melewatinya.
Maka, ia pun
mencoba untuk juga membiarkan sang pria tenggelam dalam aliran waktunya
sendiri. Ia duduk memperhatikan debur ombak yang membuih, memperhatikan
perahu para nelayan, hanya beberapa meter dari tempat si pria duduk.
Lalu ia melambaikan tangan saat si anjing Labrador mendekat, lalu saling
berkejar-kejaran, atau hanya duduk menggaruki perut si anjing, atau
melemparkan tongkat untuk dikejar si anjing, seperti yang selalu
dilakukannya untuk mengisi pagi, sejak ketika si pria belum ada di sana.
Mata
mereka bertemu pandang, satu kali. Dia buru-buru menunduk hormat, ngeri
dia telah mengganggu kedamaian si pria, lebih ngeri lagi bila dia
mengamuk atau apa. Tapi tidak. Pria itu balas mengedik samar, lalu
kembali memandangi batas cakrawala.
Dan hari-hari pun
bergulir, dengan sepotong pagi selalu ia lewatkan bersama si pria, tanpa
saling bertukar kata sepatahpun. Ia bermain, si pria akan duduk
memandang laut. Ia duduk, mengamati siluet kokohnya, dengan punggung
tegapnya, dengan mantel yang sama, dengan rambut hitam yang semakin
panjang, selalu menempati tempat yang sama, seolah dipisahkan oleh
selubung sunyi dengan dunia luar. Meski, belakangan, ia semakin sering
menangkap pandangan si pria juga mengamatinya, dalam diam.
Dua
bulan liburan musim panasnya bergulir sudah. Father memberitahunya saat
ia membuka pintu pondok untuk jalan-jalan pagi, kalau sore ini mereka
akan pulang kembali ke rumah mereka di Canterbury. Jangan terlalu lama
di luar, katanya. Kita harus mengepak koper, begitu katanya lagi. Gadis
kecil itu mengangguk, segera menyelinap keluar, tak ingin Father
mengamati wajahnya lebih lama.
Dua bulan. Ia lupa. Ia lupa
kalau ini bukan rumahnya, kalau ini hanya persinggahan sementara mereka
selama musim panas, dan begitu Agustus berakhir, ia harus kembali ke
sekolah, Father kembali untuk mengajar di universitas. Itu berarti dia
harus meninggalkan rutinitas paginya menikmati pantai dan angin berbau
garamnya, juga... sang pria bermantel hitam panjang. Rasanya... aneh.
Mereka tak pernah saling bertukar kata. Ia bahkan tak tahu siapa
namanya, dan kenapa pria itu selalu ada di tempat yang sama setiap hari.
Namun, ada yang terasa menyentak, dan dadanya sakit, saat ia menyadari
kalau ini hari terakhir dirinya bisa mengunjungi pantai, dan kembali
mengamati si pria bermantel hitam panjang. Kaki-kaki mungilnya berderap
semakin cepat, semakin cepat, sandalnya berkelepak-kelepak di atas
aspal. Dia ingin segera tiba di pantai dan---
--Tidak ada.
Pria itu tidak ada di sana. Terengah, sepasang matanya yang sebiru kaca
menyisir pantai dengan panik, mencari-cari rambut panjang masai itu,
mencari mantel itu. Ia bahkan berlari-lari kecil menyusuri pantai.
Mencari-cari di dermaga. Melongoki setiap rumah makan yang buka di
sepanjang jalan.
Tidak ada. Pria itu tidak ada di
mana-mana. Kelelahan, ia kembali ke tempatnya yang biasa, menjatuhkan
diri duduk. Napasnya naik-turun, dadanya sakit setelah berlari-lari,
namun ada sesuatu yang lain yang juga menyentak dan menusuk. Ia tak
mengira akan merasa sekehilangan ini saat tak menemukan sosok pria itu
di tempatnya yang biasa. Ia menunggu, dan menunggu, terus menunggu si
pria hingga Father menyusulnya karena mereka seharusnya tengah mengepak
koper sekarang, namun pria itu tak pernah menampakkan diri sama sekali.
Rasanya, ada lubang besar yang tercipta seiring kakinya menjauhi pantai, selangkah demi selangkah.
Dua
tahun telah berlalu. Dia delapan belas sekarang, baru saja lulus dari
sekolah putri berasrama tempatnya belajar di utara Skotlandia sana.
Father menjemputnya di King's Cross tanggal tiga puluh satu Juni
kemarin, lalu menawarinya untuk menginap seminggu dua minggu di London
sebelum kembali ke rumah Canterbury mereka. Saat ia bertanya kenapa,
Father hanya bergumam soal siapa tahu ia ingin berjalan-jalan keliling
London, lalu kembali menguburkan kepalanya di balik tumpukan buku, tanpa
sadar bergumam lebih keras soal keluhan akan bertemu kolega menyebalkan
di konferensi mendatang. Bibir si gadis langsung mengerucut. Sudah
jelas, Father akan disibukkan dengan konferensi atau apa dan dia akan
ditinggalkan berjamur sendirian di kamar hotel.
"Baiklah,
kau boleh jalan-jalan. TAPI cuma sekitar Central London. Dan HARUS sudah
pulang ke hotel sebelum gelap," akhirnya Father menyerah, dan masih
ditambah dengan serangkaian petuah mengenai tempat apa yang boleh dan
tidak boleh ia datangi, apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Ia
memang delapan belas, namun tubuhnya masih semungil bocah dua belas
tahun, satu hal yang membuat Father selalu khawatir berlebihan
membiarkannya bepergian sendirian. Namun ia menyambutnya gembira. Kapan
lagi ia bisa menyusuri jalanan kota London sepuasnya, tanpa dibuntuti
Father yang selalu menenggelamkan hidungnya ke dalam buku?
Ini
hari kedelapannya di London. Setiap pagi, ia selalu membeli secangkir
teh panas dan sekantung croissant, lalu duduk di Tavistock Square tak
jauh dari hotelnya, menikmati sarapan sambil mengamati orang-orang
berlalu lalang menuju kesibukan mereka masing-masing. Dia tengah
pelan-pelan mengunyah croissant-nya sambil mengamati para turis yang
mengantri di halte bus tak jauh dari bangku panjang tempatnya duduk,
saat tiba-tiba geraknya terhenti.
Mantel itu. Sosok itu.
Tak mungkin ia lupa, walau sudah dua tahun berlalu. Dengan rambut
hitamnya yang panjang, sepasang mata yang menyorotkan kesendirian,
punggung kokoh yang sama, bahu yang sama.
Sontak ia
berdiri. Melupakan tehnya, melupakan croissant-nya. Kaki-kakinya
berderap, sekuat tenaga berlari, memburu si pria yang dua tahun lalu
selalu berbagi sepotong pagi yang sama dengannya.
Pria itu
naik bus tingkat merah, naik setelah rombongan turis yang berisik dan
sibuk mengambil foto bis sambil menanti giliran mereka naik. Dia
berhenti, tak sempat mengejar bis yang keburu menutup pintu dan kembali
bergerak maju, mendekatinya yang terengah-engah di trotoar. Putus asa,
ia menjulurkan leher saat bis tingkat merah itu melewatinya, berusaha
mencari sosok pria bermantel hitam panjang.
Lagi, setelah
dua tahun berlalu, tatapan mereka saling beradu. Ia bisa melihat ada
keterkejutan yang nyata, membayang di sepasang bola mata kelam sang pria
bermantel hitam. Di sepersekian detik tatapan mereka beradu ketika bis
melewatinya, mulut si pria membentuk sesuatu.
'Lari.'
Terdengar
ledakan keras, memekakkan telinga. Ban berdecit, pecahan kaca dan logam beterbangan, bunga api membuncah, teriakan-teriakan
ketakutan. Ia sendiri pun menjerit, hal terakhir yang dia ingat selain
potongan logam merah terbang mendekatinya, lalu semuanya gelap.
Sunyi.
Basah. Ada yang basah. Menggenang. Merah.
*************
=TAMAT=
0 comments:
Post a Comment