Prompt 'Friendzone' dari Rizqa, temen gue dari insomniaLover Bandung. Karena gue males cari judul (seperti biasa.... kapan sih Mikan bisa bikin judul kreatif?) gue judulin sama kaya Prompt-nya aja >) Ngetiknya di Evernote HP, kelar paling cuma 3-4 jam terus abis gitu gue tercengang-cengang sendiri gitu karena ternyata sanggup bikin oneshot beneran oneshot sekali duduk langsung kelar, lewat hape pula :| Ini versi yang udah diedit dikit. Versi awal masih di Evernote gue.
================================
Friendzone
"Yang ini apa yang ini?"
Alisnya terangkat. Tak percaya.
"Like, seriously? Lo mau ke first date apa pengajian?"
Si gadis melemparkan tatapan terluka.
"Lo bilang baju paling bagus..."
"Ya bukan baju lebaran juga kali cuuy! Mana coba sini lemari lo ah!"
"Eh
tunggu tunggu!" Si gadis tiba-tiba kelabakan. Siapa yang tak akan
kelabakan kalau tiba-tiba saja seorang pemuda berkata akan menginspeksi
lemari bajunya, tempat rahasia-rahasia terdalamnya (iya,
literally)
disimpan? Mau pria itu sepupunya sendiri yang hampir setiap hari
numpang tidur siang di kamarnya juga tetap saja... lemari seorang gadis
remaja adalah tempat sakral.
"Kalem sih, gue gak akan buka
laci baju dalem lo juga," si pemuda berkata sangat enteng, seolah itu
cuma masalah apakah si gadis mau nasi gorengnya pakai bawang atau tidak,
membuka kedua pintu lemari baju si gadis lebar-lebar. Dia mengernyitkan
keningnya, betulan serius mempertimbangkan setiap baju yang terlipat
dan tergantung, sementara si gadis mengintip cemas dari balik bahu si
pemuda sambil berjinjit. Berharap si pemuda betulan tidak membuka laci baju dalamnya karena,
well, selain ada baju dalam yang
memalukan kalau sampai diinspeksi laki-laki, jurnalnya juga disimpan di sana.
Si pemuda hanya tahu kalau jurnal itu berisi cerita-cerita tulisannya. Dia tak tahu si gadis juga menuliskan
hal-hal lain di jurnalnya.
"Plannya pergi ke mana?" Si
pemuda bertanya lagi, seolah belum cukup semalam ia membantu si gadis
yang tegang dan kebingungan membuat rencana untuk kencan pertamanya.
".... kan lo juga tau mau ke
—"
"
Culinary Night. Nih. Blus ini, cardigan yang ini, kerudungnya yang ini, celananya yang ini. Setrika dulu sana."
Antara
dia ingin melahap si pemuda saking gemasnya dengan cara bicaranya yang
seolah paling tahu bagaimana cara perempuan berdandan, dengan ingin
berterima kasih karena bagaimanapun, si pemuda memang nyata-nyata yang
memberikan bantuan betulan, bukan sekadar saran atau kritikan kosong atau lebih parah, hanya berkata 'ya terus mau gimana?'.
Akhirnya si gadis menahan diri untuk melakukan perintah si pemuda tanpa
berkomentar apapun. Satu jam berikutnya penuh dengan si pemuda
memberikan seruan-seruan seperti 'Lo bisa nyetrika rapi gak sih?' 'Yang
simpel dong! Lo mau kencan apa cosplay jadi Quirrel?' 'Eyeliner lo
nyeet! Tau mata lo kecil gitu!' 'Sumpah lo ga punya parfum yang bener
apa?' dan varian-varian lain yang sejenis.
"Gila ya lo, ga
nyangka gue lo bisa lebih cerewet dari Mami recokin gue dandan," si
gadis kembali menghela napas panjang, berusaha menelan sabar saat dia
mengganti kalung untuk yang ketiga kalinya.
"Satu: lo mau
pergi ama temen gue. Dua: gue yang rekomen elo ke dia. Mau ditaro di
mana muka gue men, kalo dia ngerasa lo gak seoke rekomendasi gue?"
Mau tak mau si gadis sedikit merasa tersanjung.
"Tapi kok lo gak recokin temen lo itu?"
"Cmon,
cowok oke macem dia mananya yang kudu dipoles lagi, sih? Dia udah
upgrade segalanya lebih dulu dari elo. Introspeksi tuh."
Ugh. Baru merasa tersanjung sedikit dan sepupunya ini dengan sangat pintar membawanya kembali terhempas jatuh. Amat keras.
"Oke. Inget ya nanti, lo gak usah akting sok-sok jadi cewek lemah ama dia."
"
Kayak gue pernah akting sok lemah aja—"
"Gak usah drama-dramaan, baru ketemu!"
"Gue gak segitu
drama queen—"
"Ga usah canggung-canggung segala, anggep lo lagi
hang out
ama gue aja. Obrolin apa aja yang terlintas di kepala lo kayak
biasanya, mau serandom apapun. Gue udah bilang kok otak elo sangat
random."
"WHAT THE
—"
"Iya, kayak waktu kita makan pizza terus lo penasaran apa keju rasanya kuning juga kayak warnanya."
"....Berisik."
Bisakah
sepupunya ini berhenti memberi petuah? Kesemuanya itu tidak membantu,
sungguh. Malah membuatnya tambah grogi dan kalut memikirkan bagaimana
bila dia dan si lawan bicara nanti sudah kehabisan bahan pembicaraan.
Masa dia harus membicarakan tentang cuaca, yang benar saja?
"Oke. Telepon gue kalo ada apa-apa, oke?"
"Nggak bakal ada apa-apa, ya ampun. Kalau ada apa-apa, temen lo itu yang kudunya lo ceramahin panjang lebar."
"Ooh, kalo itu sih urusannya beda," si pemuda tertawa bangga. Sekali lagi, dia
mengecek penampilan si gadis dari atas sampai bawah, bahkan menyuruh si
gadis berputar sekali.
"Sip. Cantik," akhirnya dia
berdecak puas. Ada semburat merah menyeruak sesaat ke permukaan ketika
si gadis mendengarnya, diam-diam berjingkrak dalam hati karena si pemuda
menyebutnya cantik. Ia menunduk, pura-pura membetulkan kalungnya agar si pemuda tidak melihatnya tengah tersipu-sipu menahan senyum.
"Sana pergi. Jangan sampe telat, ngancurin first impression lo aja."
"Baweel!"
Tak
urung, si gadis memeluk si pemuda sebelum pergi. Meski bawel, meski
menyebalkan, meski kata-katanya menyakitkan, pemuda ini yang selalu ada
di sisinya bahkan di saat-saat terburuknya, memberikan semua yang bisa
ia lakukan untuk menbantunya tersenyum lagi. Coba, bisa apa dia kalau
sepupunya tidak ada saat ia baru diputuskan tanpa alasan jelas oleh
pacarnya selama lima tahun itu? Mungkin sekarang ia masih menangis
sambil mengunyah sebatang coklat, menontoni drama di laptopnya hingga
selesai ber-season-season.
"Thanks for everything. You're the best."
"Yep. I know."
"Songong!"
Diantar suara tawa, si gadis melambaikan tangan dan pergi.
**************
"Apaan nih?"
Respon yang sudah bisa ditebak ketika dia tanpa ba-bi-bu mengirimkan temannya foto seorang gadis berkerudung.
"Sepupu gue. Food adventurer, traveler, matanya jeli sama detail, kayanya cocok sama
artisan kaya lo. Kadang otaknya rada random sih siap-siap aja."
"Wud
—seriously? Hooking me up with your own cousin?"
"Baru diputusin, men. Capek gue dengerin dia nangis."
"Anjir."
"Udah lima taun pacaran, makanya lupa pedekate orang baru."
"Perih, Jendral."
"Banget."
"So? Lo mau gue bawain betadine gitu buat dia?"
"Apa
deeh biar dia move on. Nyokapnya bolak balik telepon gue nyeet! Tiap jam ada kali. Mana
dia nangis mulu berisik sumpah, udah ampir gila ini gue ngurusin dua
perempuan."
"Ye bastard."
"I know."
"Jangan dendam kalo entar sepupu lo jadi nangis karena gue."
"Na'ah, gue tau lo pria baik."
"Wow. Tersanjung, gue."
"Ya paling kalo lo brengsek ama dia tinggal gue format laptop ama HDDE lo."
"....brengs."
"lol. Jagain sepupu gue baik-baik, ya."
***************
Mereka
pasti sudah saling bertemu sejak masih sama-sama bayi karena usia
mereka berdekatan, namun kejadian paling awal yang dia ingat dari
interaksi bersama sepupunya itu adalah saat berebut kasur lipat motif
Power Ranger miliknya yang sengaja dibawa dari rumah karena tempat nenek
selalu kekurangan kasur saat seluruh keluarga berkumpul, dan ibu serta
tantenya dengan kompak memutuskan kalau sepupunya boleh menggunakan
kasur lipat itu alih-alih dia, dengan alasan sepupunya perempuan dan
kasur itu miliknya, jadi ia sudah merasakan tidur di atasnya
berkali-kali. Sejak saat itu ia mendeklarasikan perang dengan sepupunya,
selalu mencari cara untuk balas dendam setiap kali bertemu. Meski pada
ujungnya ia sendiri yang tidak tahan keberisikan dengan tangisan
sepupunya itu.
Waktu bergulir, tanpa sadar dia sudah mau
masuk SMP. Ayahnya merintis bisnis di negara baru, ibunya memutuskan
pindah untuk tinggal berdekatan dengan kakaknya, dan seolah sudah diatur semesta,
mereka satu sekolah. Satu kelas, pula. Seperti layaknya anak remaja
laki-laki yang paranoid bila memiliki suatu relasi khusus dengan anak
perempuan, dia mengultimatum sepupunya untuk tidak menyebutkan apapun
tentang hubungan persaudaraan mereka, dan saling menganggap yang lain
sebagai orang asing. Butuh waktu sampai dua tahun untuk akhirnya ia bisa
berbicara normal dengan sepupunya dan melupakan dendam masa kecil.
Sedikit dibantu dengan sepupunya yang selalu memilih dia sebagai partner
kerja kelompok karena tak ada orang lain yang mau memiliki partner
segalak dia,
well.
SMP berlanjut ke SMA, mereka
masih mendaftar ke sekolah yang sama. Saat ternyata dia dan sepupunya
diterima di universitas yang sama, ibu dan tantenya memutuskan (tanpa
persetujuannya, tentu saja, kapan juga mereka pernah tanya-tanya
pendapatnya, sih?) kalau dia dan sepupunya harus menyewa kamar kos bersebelahan
dengan judul untuk saling menjaga. Dan tiba-tiba saja, ia menyadari,
bertahun-tahun harinya telah dihabiskan bersama-sama dengan sepupunya, dan
akan masih begitu hingga bertahun-tahun ke depan. Gadis itu orang terlama yang pernah ia kenal dalam hidupnya, dan orang terlama yang hadir dalam hidupnya.
Telepon
genggamnya bergetar. Ia melirik, berhenti mengisap rokoknya untuk
melihat siapa. Sepupunya, mengirimkan gambar dirinya dan si pemuda
temannya. Sepupunya tersenyum. Lebar. Tak tampak kalau sampai kemarin, gadis itu selalu menangis dan murung habis-habisan setiap hari. Cantik sekali.
"You're right. He's great. Thanks a bunch for tonight!"
Begitu pesan yang mengiringi.
Sudut
bibirnya terangkat sedikit. Telepon genggamnya dimain-mainkan,
pandangannya menerawang menatap langit. Entah karena mendung atau polusi
cahaya, tak terlihat apapun. Dia menyesap lagi rokoknya dalam-dalam.
Dingin. Mungkin ia seharusnya masuk saja alih-alih merokok di balkon begini.
==TAMAT==
0 comments:
Post a Comment