Template Mouth-watering Sprites by EZwpthemes from bTemplates. Powered by Blogger.
RSS

[OriFic] Anjing Kecil Di Tengah Hujan

Baru ngeh ada draft ini di folder lol. Kayaknya hasil ngerandom ga jelas. Bahkan gue didn't bother namain tokoh-tokohnya. Judul juga sekenanya. Yah gitulah. Enjoy


===================================


Biasanya dia selalu suka hujan.  Tapi tidak hari ini.


Mungkin karena hujan sekarang begitu deras, seperti air bah yang ditumpahkan begitu saja ke atas kepala. Tampaknya Zeus sedang menguras kolamnya dan menjadikan bumi sebagai tempat pembuangan, entahlah. Atau mungkin ada naga yang sedang kena gangguan saluran kencing dan tidak bisa berhenti buang air. Ditambah Boreas yang memutuskan untuk muncul lebih awal dari seharusnya, tanpa sadar warga bumi belum menyiapkan mantel tebal berbulu sama sekali di musim begini. Andai saat ini dia membawa payung, payungnya akan terbalik dalam hitungan detik dan terkoyak percuma.


Mungkin juga karena dia merasa seluruh semesta tengah berkonspirasi untuk menyoraki kemalangannya.


Sementara manusia-manusia lain yang terjebak di jalanan bergerak secepat kaki mereka mengizinkan menuju tempat terdekat yang bisa memberi perlindungan sementara, dia menghentikan langkahnya. Termangu. Menengadah, langit di atas menggelayut kelabu; tak lagi dia ingat apakah itu karena awan hujan masih menggelayut tebal atau karena matahari sebentar lagi permisi dari melaksanakan tugas harian. Butir-butir besar air berjatuhan di pipinya, tanpa ia bisa lagi membedakan apakah itu hujan atau air mata. Tanpa lagi bisa membedakan apakah ia menangis karena menangisi nasib atau karena matanya perih kemasukan air.


Sesuatu—atau seseorang—menyenggol bahunya dari belakang. Tidak kuat, tapi mungkin karena ia tengah melamun—atau efek belum makan sejak kemarin—kakinya sempoyongan. Lalu jatuh tersungkur.


Samar, telinganya menangkap suara seseorang yang berteriak panik.


***


Dia tidak lagi kedinginan, itu hal pertama yang dia sadari. Dia tengah terbaring di atas sesuatu yang lembut, hangat, dan wangi, hal kedua. Lalu kelopak matanya bergerak-gerak, membuka sedikit, cukup untuk selarik sinar mengintip masuk. Silau.


Kering, hangat, lembut, dan terang.


Dia terduduk tegak tepat ketika pintu di seberang tempat tidur yang tengah ia tempati terbuka. Sosok seorang pria berambut cokelat gelap berantakan muncul dengan senyum canggung. Sebelah tangannya membawa cangkir yang isinya masih mengepulkan uap tipis.


“Er—hai.”


Sapaan yang sama canggungnya.


Dia mengerutkan kening. Otaknya masih berusaha memproses dengan baik dan benar tentang mengapa dia tiba-tiba saja tengah terbaring di atas tempat tidur yang tidak ia kenal, di dalam kamar yang juga tidak ia kenal, lalu seorang pria yang sama sekali tidak bisa dia ingat kenal di mana muncul begitu saja, ketika hal terakhir yang dia ingat adalah tengah merenungi nasib di bawah hujan.


“Siapa kau? Ini di mana?”


Si pemuda menganggap pertanyaan bernada kebingungan itu sebagai sebuah sinyal hijau yang mengizinkannya untuk mendekat. Pemuda itu menarik kursi lalu duduk di samping tempat tidur. Cangkirnya masih dipegang. Cengiran bodoh itu juga masih saja terkembang.


“Ini kamarku. Kau tiba-tiba jatuh di depan pintu masuk kompleks apartemenku,” pemuda itu mengaku. “Kau kebasahan, terus kayaknya pingsan. Tidak mungkin kutinggalkan kau terbaring begitu saja di pinggir trotoar. Jadi kuminta satpam membantu membawamu ke sini.”


Matanya memicing, mengamati si pemuda. Tidak terlihat aura psikopat atau mesum pemerkosa, namun ia bisa saja salah. Pemuda baik-baik macam apa yang mau-mau saja membawa masuk seorang gadis yang terjatuh di depan tangga rumahnya, tanpa tahu identitas si gadis?


“Ini. Coklat panas. Minumlah,” si pemuda menyodorkan cangkir itu padanya. Dia masih diam mengamati beberapa saat sebelum lengannya terjulur untuk menerima cangkir.


Hal lain yang dia sadari ketika mengulurkan tangan, dia tengah memakai kaus yang juga tidak dia kenal.


“Mana bajuku?” Dia memelototi si pemuda dengan tatapan menuntut.


“Hei, kau bisa sakit kalau kubiarkan dalam bajumu yang basah kuyup itu,” si pemuda membela diri.


“Jadi kau sembarangan mengambil asumsi dan berkesimpulan kau berhak menelanjangiku?”


“A—aku tidak lihat apa-apa!”


“Yeah, yeah, kayak aku percaya saja,” dia mendengus sarkastis diiringi guliran bola mata. “Kita sama-sama dewasa, kan? Tak perlulah kau gunakan alibi klise a la anak SMP begitu.”


Si pemuda mengedikkan bahu. “Yah, Aku tidak sebrengsek itu untuk mengambil kesempatan ketika kau tidak sadar.”


“Terserahlah,” dia menanggapi malas, seolah ditelanjangi seorang pemuda asing tidak lagi menjadi masalah besar. “Anggaplah itu bonus karena kau menyelamatkanku.”


Dia menyeruput coklatnya. Hangat.


“Ngomong-ngomong, kau kenapa? Kupikir kau jatuh karena kusenggol, tapi aku berani sumpah senggolanku tidak keras. Tapi kau mendadak jatuh dan pingsan.”


“Ho, jadi kau membawaku masuk karena ngeri dituntut tuduhan penganiayaan, jadi kau mau menghilangkan barang bukti dulu?”


Pemuda itu menghela napas, seolah lelah. “Kau tahu,” ujarnya, “kalau kau lebih berminat menghabiskan waktu dengan melemparkan tuduhan tidak berdasar sepanjang hari, dengan penuh hormat aku permisi dan kutinggalkan kau sendiri sampai kau puas. Atau kau bisa bekerja sama dan mulai benar-benar menjawab pertanyaanku. Terserah kau.”


Gadis itu terkekeh, hampir saja tersedak coklat panasnya. “Baiklah, baiklah. Kau pria sibuk membosankan, aku paham. Ayo mulai pertanyaanmu.”


“Kau tidak membawa tas atau barang apapun yang lainnya. Kau bukan sedang kabur, kan?”


Gadis itu mengangkat alis, berusaha terlihat tidak peduli padahal beberapa saat yang lalu jelas-jelas ia tengah merasa menjadi orang paling malang sedunia. “Kau berharap jadi detektif, begitu? Sayang sekali, cerita sebenarnya tidak sedramatis itu. Tasku hilang di stasiun karena aku terlalu sibuk meratapi wawancara kerjaku yang gagal. Semuanya di situ. Uang, ATM, kartu identitas. Apartemenku masih satu jam lagi dari sini dengan kereta dan aku bingung pulang pakai apa, jadilah luntang-lantung sampai depan kompleks apartemenmu.”


“Bagian mananya yang tidak dramatis, coba,” pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala.


“Mengejutkan kau masih bisa tertawa-tawa begini.”


“Well,” dia kembali memusatkan perhatian pada cangkirnya, “shit happens.”


Si pemuda mendengus. Memutuskan untuk berdiri dan keluar. “Baiklah. Kelihatannya kau tidak butuh dihibur atau—“


Bila si pemuda terkejut karena tiba-tiba saja gadis itu menarik kausnya, dia lebih terkejut mendapati tangannya tanpa ia sadari menahan kepergian si pemuda. Kenapa?


“Kau…” si pemuda terdiam sejenak, ragu-ragu. “Menangis?”


Kelopaknya mengerejap, dan dia baru sadar ada butiran-butiran bening yang tengah mengalir deras, mengaburkan pandangannya. Jemarinya meraba pipi. Basah.


“Aku—“


Kenapa dia menangis? Apa diam-diam, meski dia menampakkan sikap tak peduli ketika menceritakan kisahnya, hatinya belum bisa merelakan kesialan itu? Bagaimana dia sudah mencari kerja selama setahun belakangan tanpa hasil berarti dan tabungannya sudah menipis. Bagaimana empat bulan lalu dia terpaksa menyanggupi posisi sebagai pegawai magang dengan bayaran alakadarnya, dan tiba-tiba saja sebulan lalu mendapati dirinya diberhentikan dengan alasan perusahaan sudah tidak lagi memerlukan pegawai magang. Lalu teman-temannya yang satu persatu meninggalkannya karena ia selalu menolak ajakan keluar karena harus berhemat. Lalu mobilnya tiba-tiba saja ditabrak pengemudi mabuk ketika tengah diparkir, dan sekarang terpuruk di bengkel tanpa dia sanggup membayar.


Apa semua orang mengalami kesialan yang sama banyaknya di pertengahan dua puluhan? Kalau iya, mungkin ini penyebab dari munculnya sindrom pertengahan dua puluhan.


Man. Kali ini hidup benar-benar menendangnya telak.


Pemuda itu urung keluar. Dia duduk di tepi tempat tidur, di sebelahnya, melepaskan cangkir coklat panas dari genggamannya dan meletakkannya di atas meja samping tempat tidur. Dia tidak memberontak, juga tidak berusaha menyalahkan atau membenarkan ketika si pemuda mungkin menganggapnya sebagai sinyal penerimaan. Lalu lengan-lengan besar itu melingkarinya. Merengkuhnya lembut. Membaringkan kepalanya di dada si pemuda.


Tiba-tiba saja, dia menyadari, sudah terlalu lama semenjak terakhir kali dia merasakan sentuhan manusia. Bukan, bukan sekedar sentuhan basa-basi seperti ciuman sapaan atau jabat tangan, tapi sentuhan yang sungguh-sungguh ditumpahkan hanya untuknya. Yang seolah ingin menyelimutinya dengan selubung kehangatan, yang seolah ingin memberitahunya untuk tidak perlu kuatir dengan dunia. Seolah, ingin memberitahunya bahwa ia tidak sendiri; ada orang lain yang cukup peduli untuk memberinya kehangatan, memberinya perlindungan.


Padahal, pemuda ini orang asing yang bahkan dia belum tahu siapa. Tapi pelukannya seolah meluruhkan segala sisa-sisa pertahanan terakhirnya. Dia tidak lagi berpura-pura kuat. Dia tidak lagi berpura-pura tak peduli seperti yang ia tampakkan ketika mereka yang ia kira menganggapnya berharga satu persatu meninggalkannya tanpa sekalipun lagi menengok ke belakang.


“Aku merasa seperti memungut seekor anjing liar di tengah hujan.”


Dia meloloskan tawa geli, hampir seperti mendengus.


“Yah, bisa dibilang begitu.”


“Yakin nih tidak keberatan disamakan dengan anjing?”


“Kau sendiri tidak menyesal memungutku?”


“Well…” si pemuda berlagak seperti berpikir, tidak langsung menjawab. “Kurasa tidak buruk juga,” dia nyengir. “Tidak setiap hari aku beruntung memungut anjing manis sepertimu.”


Si pemuda belum melepaskan pelukannya. Tapi dia tak keberatan, karena dia pun masih ingin tenggelam dalam kehangatan seperti ini, yang membuatnya merasa seolah semua masalahnya tak berarti, dan dia akan baik-baik saja.


Si pemuda menggandengnya keluar, memperlihatkan meja sarapan kecil yang sudah penuh makanan. Rupanya sementara dia pingsan tadi, si pemuda sibuk menyiapkan makan. Dia mengerling jendela di ruang depan. Hujan masih bertalu-talu mendera kaca tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Mungkin ramalan cuaca tadi pagi benar tentang angin topan yang tengah mendekat.


Dia tidak lagi membenci hujan hari ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: